~* Black Winged Angel *~

Vali dan Narvi

About Me

Foto saya
Seorang cewek yang baru menyadari kalo dirinya adalah seorang Fujoshi tingkat medium,Pecinta doujin Shonen ai & Yaoi (dengan beberapa pengecualian) tapi hanya yang gambarnya bikin...aw~, punya impian memiliki serigala, punya sayap(hiks!),mengendalikan api(HUAA!!pengen BGT!!). Saat ini sedang mencoba membaca doujin Final Fantasy 7...tapi masih menolak versi Hardcore or Lemon. Cih, gara-gara seorang doujinka dengan pen-name KIKI (sialan!) yang telah menularkan dengan gambar Cloudnya yang... ugh, mimisan gue... *nyari tisu*
Kamis, 17 Desember 2009

Aishiteru, Ao-kun! Part 10


Tok-tok-tok.
Seorang pria muda, mungkin usianya lebih tua beberapa tahun dari Wizard, membuka pintu.
“Ya?” tanya Felix (anggep aja namanya gitu, hehehe...gue kan penggemar Twilight Saga).
“Maaf, apakah ini rumah Mr. Edward Anthony Masen Cullen?” tanya Wizard.
“What? Mr. siapa?”
“Mr. Edward Anthony Masen Cullen.” Wizard mengulanginya  dengan amat-sangat-lembut.
“Maaf. Saya tak kenal. Kau salah alamat, ini bukan rumah Mr. Edward.”
“Lalu, rumah siapa?”
“Kurasa itu tidak ada urusannya denganmu.” jawab Felix datar.
Wizard menjawab dengan amat-sangat-meyakinkan. “Tentu ada. Saya curiga jangan-jangan ini benar rumah Mr. Edward yang saya cari.” Wizard bersikeras.
“Sudah kubilang, bukan. Pergi!” pintu ditutup dengan kasar. Dan akhirnya Wizard kembali ke tempat Dita menunggu.
“So, gimana hasilnya?” tanya Dita.
Dengan sedikit tatapan putus asa –yang pasti hanya dibuat-buat- menjawab, “As you can see. Diusir.”
“Hahahaha.... kasihan.” Dita terbahak.
“Oke. Your turn now.” kata Wizard dengan tatapan meremehkan.
“Ok. Look at me. And show time, must go on!” sahut Dita yakin sambil berjalan pergi.
***
Tok-tok-tok.
Felix membuka pintu lagi. “Hah?”
“Maaf, apa ini...”
“Rumah Mr. Edward Anthony Masen Cullen? Bukan. Sudah sana pergi.” Felix menutup pintu tapi ditahan Dita.
“Hei, tunggu. Bukan, bukan itu yang ingin saya tanyakan. Lagipula, siapa itu ‘Mr. Edward Anthony Masen Cullen’?” Dita balik bertanya.
“Sudahlah, lupakan. Lalu, ada perlu apa kau kemari?”
“Saya hanya ingin menanyakan, apakah ini rumah Mr. Jasper Wicthlock?”
“Aah! BUKAN!” Felix membanting pintu dengan kasar.
***
“Hahaha... kau bahkan lebih parah, mengikuti ideku.” Kata Wizard sambil tertawa geli. Dita cemberut.
 “Hei, dari awal aku sudah punya ide begitu kok.” bantahnya.
“ Ya ya.... So, Master, what will we do now?” tanya Wizard dari alat komunikasi.
“Yaah... terpaksa pakai plan B.” katanya.
“Ok.” jawab Dita dan Wizard.
***
 




Rabu, 16 Desember 2009

HUEEE~~~~!!! Hiks Hiks...!! ;-(

Huhuhuuhhhuuuu...........!!! hikz hikz.... Duuh.. Matematika gw gimane nec???!! OMG!! Hikz... gw belum ngerjain MTK dari no.24 sampe 30. ngasal semua. OH TTIIDAAKK!!!!! bagaimana ini??!! SIALAAAAANNN!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
DASAR WAKTU B******K!!! KASIH KOMPENSASI WAKTU KENAPA KEK..!! HUAAA!!!! B******K!!! BA****D!! HOLY S**T!! BA***OU!! K**O!!! A**U!!!! GYAAAAAA!!!!!!!!!!
*siapa yang bersedia gw cincang??*

Rabu, 09 Desember 2009

Aishiteru, Ao-kun! Part 9

***
Terdengar alunan biola yang menyayat hati di rumah -lebih tepatnya puri- besar itu. An sedang memainkan lagu-lagu klasik di ruangan khusus tempatnya. Ya, setiap bulan purnama –dan saat itu memang sedang bulan purnama- ia akan memainkan permainan musik indah. Entah itu biola, piano, harpa, ataupun samisen. Lagu yang dimainkan pun, hanya dia yang tahu. Karena, alunan nada-nadanya bukan alunan nada para pianis terkenal.
“An, sampai kapan kau mau memainkan itu? Ini sudah waktunya tidur.” suara Haruka membuyarkan tangga nada yang sedang dimainkan An. Haruka berjalan mendekati An yang berdiri di depan jendela besar tanpa kaca yang menyajikan pemandangan indah, bulan purnama besar yang sendirian di langit, sedangkan cahaya keperakannya memantul menerangi lembah, rumah-rumah, pepohonan dan hutan di bawahnya. Haruka mengambil biola yang sedari tadi bertengger di pundak An.
“Haruka,”
“Ya?”
“Maukah kau memainkan satu lagu untukku?”
Haruka terdiam. Ia menatap An. Tatapan An yang menerawang membuat Haruka akhirnya memainkan biola yang dipegangnya.
Dan alunan tangga nada baru pun mengalun lembut. Memenuhi ruangan itu. Memenuhi rumah besar itu. Memenuhi lembah itu. Memenuhi langit itu.
Wizard yang sedang membereskan ruangan terdiam. Dita yang sedang membaca buku di tempat tidurnya terdiam. Dark yang sedang tidur-tiduran di atap terdiam. Alto, serigala putih kesayangan An yang sedang sibuk menjilati kuku-kukunya berhenti, dan terdiam. Ya, mereka semua terdiam karena mendengarkan musik yang mengalun lembut, tapi sendu, yang memenuhi udara malam itu. Mereka semua menghentikan pekerjaan mereka, lalu menengadahkan kepala, melihat langit. Lalu memejamkan mata. Dan seperti menyambut musik itu, alam pun ikut mengiringi dengan caranya sendiri.
Angin berembus pelan, membuat daun-daun bergemerisik pelan. Suara burung hantu yang sesekali terdengar, ditimpali oleh suara jangkrik yang semarak. Dan setelah itu, Alto ikut mengaum. Suara Alto yang sedikit berbeda dari serigala lain, membuat harmonisasi yang indah sekali. Malam itu benar-benar indah. (Author: Huuee..~~ gw mau liat~~!! >.<) An merebahkan kepalanya di meja yang berada di samping Haruka berdiri, lalu memejamkan mata. Beberapa saat, An mulai melantunkan sebuah syair dengan suara lirih. Oo Aquilo, addo mihi sadus uranicus creatura per rutilus astrum in suus frans Wahai angin utara, antarkan kepadaku satu-satunya makhluk terindah pemilik bintang emas satu-satunya. An terus melantunkan syair itu dengan berbagai nada, mengiringi permainan biola Haruka. Sampai musiknya selesai pun, An tetap bersenandung lirih. An bisa merasakan Haruka yang duduk di sampingnya, dan tangannya yang mengusap lembut kepala An. “Naze?” kata Haruka pelan. An tidak menjawab. Ia malah melingkarkan kedua tangannya di punggung Haruka. Sebelum Haruka sempat membuka mulut An sudah melontarkan kata “Dingin” dengan suara lirih. Haruka menghela napas. “Bohong. Kau itu api, tidak mungkin kedinginan. Sebenarnya ada apa, An?” kata Haruka. Cukup lama An terdiam. Ia hanya mempererat dekapannya. Lalu, “Aku rindu Ayah.” Tiga kata itu keluar dari mulut An. Ya, hanya 3 kata. Tapi itu sudah cukup membuat Haruka mematung. “Kapan kita bisa ke tempat Ayah?” tanya An. Ia menengadahkan kepalanya. Haruka hanya mengusap-usap kepala An. “Nanti. Kalau sudah waktunya, kau pasti bisa bertemu dengannya.” “Lebih baik kau cepat tidur. Besok kita akan sibuk.” kata Haruka. An cemberut. Tapi ia tetap melangkahkan kakinya menuju kamar tidurnya.

***

Wina, Wall street.
“Cicak sedang menuju sarang ular.”
Pemuda berambut pirang itu berbicara dengan lirih pada alat komunikasi di telinga dan bajunya. Ia berjalan sambil makan es krim yang baru di belinya tadi. Ia hanya menggunakan kaus putih dengan jaket jeans biru dan celana jeans hitam, padahal hari itu suhunya sekitar 15 derajat Celcius. Apalagi tadi malam hujan turun dengan deras. Orang-orang di sekitarnya, minimal memakai syal atau sweater untuk menghindari udara dingin yang menusuk.
10 meter di belakang si pemuda, seorang gadis kecil juga berpakaian sedikit aneh. Ia hanya memakai celana hitam selutut dan baju tangan panjang berwarna hitam dengan jaket hoddie tanpa lengan berwarna senada. Orang se-profesional apa pun tidak akan bisa menyangka bahwa kedua orang itu sebenarnya berjalan beriringan.
Si pemuda melihat sekeliling, seperti mencari-cari sesuatu. “Ular hijau mencium bau cicak. Lakukan rencananya, D-Rabbit.” katanya melalui alat komunikasi.
Si pemuda kemudian berhenti di depan taman kota. Sesekali ia melihat jam ditangannya. Beberapa saat kemudian, si gadis kecil tadi, datang menghampiri si pemuda.
“Maaf, kau sudah lama menunggu ya?” tanya si gadis.
“Tidak, aku baru saja datang ke sini.” jawab si pemuda. Kemudian mereka bercakap-cakap sebentar sebelum akhirnya pergi meninggalkan taman itu. Setelah cukup jauh, “Hei, bisakah kau cari nama sandi lain? Aku tidak suka dengan sandi ‘Rabbit’ itu, Wizard.”
Si pemuda pirang yang ternyata adalah Wizard itu menoleh, dengan tatapan tak berdosa pastinya. “Tapi nama sandi itu cocok untukmu, Dita. Benar-benar imut.” katanya.
Gadis kecil yang ternyata adalah Dita itu memutar bola matanya. “Jangan bercanda. Itu tidak lucu.”
“Halooo~?? The Twins memanggiill..~~! Kalian nanti saja berdebatnya! Sekarang, cepat cari sarang ularnya, dan bawa beberapa ularnya kemari. Kita harus segera menyelesaikannya tanpa membuang-buang waktu.” Suara itu berasal dari alat komunikasi yang mereka pakai.
“Roger, Master.” jawab mereka kompak.

***

“Hm... bagaimana, Wiz? Kita langsung menerobos masuk?” kata Dita. Mereka ada di rumah dengan cat coklat yang sudah luntur di beberapa bagian. Kalau dilihat-lihat, rumah itu sepertinya kosong. Tapi, siapa yang tahu kan? Ah ya, kalau kau berpikir, “Ini rumah ularnya,” yeah, you right.
“Wait, kenapa kau memanggilku ‘Wiz’?” sela Wizard dengan kening berkerut.
“Yah, sebagai balasan kau memanggilku dengan sandi ‘Rabbit’. Jadi, kalau kau sekali lagi memanggilku dengan...”
“Oh, sudahlah. Kau terlalu cerewet soal nama.”
“Hei! Kau duluan yang...”
“Seperti kata Shakespeare, ‘Apalah arti sebuah nama’. So, don’t be fussy.” Wizard memotong perkataan Dita sambil mengawasi sekeliling rumah itu.
“Woi, tugas! Apa kalian lupa motto kita? ‘Mission is number one’. Yang lain belakangan. Sekarang, lanjutkan misi. Dan JANGAN MEMBUANG-BUANG WAKTU!” suara itu kembali terdengar dari alat komunikasi mereka.
“Aye, Master.”

***