~* Black Winged Angel *~

Vali dan Narvi

About Me

Foto saya
Seorang cewek yang baru menyadari kalo dirinya adalah seorang Fujoshi tingkat medium,Pecinta doujin Shonen ai & Yaoi (dengan beberapa pengecualian) tapi hanya yang gambarnya bikin...aw~, punya impian memiliki serigala, punya sayap(hiks!),mengendalikan api(HUAA!!pengen BGT!!). Saat ini sedang mencoba membaca doujin Final Fantasy 7...tapi masih menolak versi Hardcore or Lemon. Cih, gara-gara seorang doujinka dengan pen-name KIKI (sialan!) yang telah menularkan dengan gambar Cloudnya yang... ugh, mimisan gue... *nyari tisu*
Sabtu, 20 November 2010

A-K-H-I-R-N-Y-A !

Gua seneng. Seneng. Banget. Banget. Banget.

Akhirnya, setelah berteliti mendownload codenya, bersabar saat ga bisa di upload, beradu mulut dengan kakak gua gara-gara OL kelewat batas, nangis bersedu-sedu (baca: mewek) gara-gara semua browser kaga ada yg bisa mengupload....

AKHIRNYA MAU JUGA TEMPLATE FINAL FANTASY VERSUS INIIII...!!!!

*tabur confetti*

Ternyata, file yang gua download itu ga selese, jadi pas gua upload kaga mau.
Untung aja pas pake mozilla buat nge upload mau juga.

Huaaaa~~ gua seneng bangeeet...!!!

PERKENALAN

Hari sudah mulai siang ketika aku melihat kota di bawah bukit. Aku menghembuskan napas lega. Akhirnya ketemu juga! Dengan menumpang truk tua yang lewat, aku pergi ke kota itu.
Untung saja perjalanannya tidak memakan waktu terlalu lama. Sekarang aku sudah sampai di depan gerbang kota, dan langsung masuk mencari peta wilayah yang biasanya ada di tengah kota. Aku harus tahu aku ada dimana!
Aku berjalan semakin ke dalam kota. Banyak rumah-rumah –yang seperti apartemen- tua berdiri. Aku merasa seperti berada di kota Eropa jaman dulu. Yang membuatku yakin aku tidak berpindah tempat dan waktu adalah, pakaian orang-orangnya. Lagipula di antara rumah-rumah tua itu, ada beberapa kota makanan siap saji. Aku beristirahat sejenak di bangku taman, melepas mantel dan memasukkannya ke tas. Karena cahaya matahari terlalu terik, aku memakai topi dengan sedikit menyembunyikan sebagian rambut panjangku yang sebatas bahu ke dalam topi.
Aku bersandar di bangku taman dan sedikit menengadahkan kepala. Berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Berusaha mencerna keadaanku yang –entah dimana sekarang ini- sedang berlari, menghindari sesuatu –tepatnya seseorang- yang entah mengapa terus mengerjarku. Apa aku punya hutang padanya? Kurasa tidak. Toh kalaupun aku punya hutang padanya, err... apa hutangku itu?
Kuacak-acak rambutku yang tertutup topi. Ini menyebalkan! Membingungkan sekali. Aku menghela napas panjang. Tidak ada gunanya memikirkan hal itu sekarang.
Aku tidak terlalu memperhatikan orang-orang yang lalu-lalang di sekitarku karena masih terfokus dengan pikiran yang ada di kepalaku, hingga aku jadi tidak waspada. Sesaat yang lalu aku masih merasakan permukaannya yang lembut, tapi sekarang sama sekali tidak terasa.
Aku menoleh, dan saat itu juga aku melihatnya; seorang laki-laki yang berlari menjauh sambil menenteng ransel milikku.
“HEEEIII..!!!!!” melompat secepat yang kubisa, aku langsung berlari mengejarnya yang langsung melesat kabur.
Ia berlari ke jalan, menyelinap di antara kerumunan orang. Aaargh! Son of bitch! Aku akan membunuhnya!
Aku menyelinap juga. Untung saja tubuhku kecil, jadi tidak perlu tertahan oleh desakan orang-orang di sekelilingku. Sambil terus merangsek maju, aku bisa melihat sekilas ujung tasku sebelum kembali tertelan kerumunan orang. Tanpa sadar, sebuah seringai lebar terukir di bibirku. Aku sudah benar-benar tidak bisa menyembunyikan aura kemarahanku lagi.
Ia menyelinap ke sebuah gang sempit, tak jauh dari tempatku berada. Khu... dia pikir dia sudah berhasil mengelabuiku, eh? Tidak secepat itu, git.
Dengan gerakan luwes, aku keluar dari kerumunan dan dengan santai berjalan memasuki gang sempit itu. Wow.  Banyak sekali kotak kayu di sini, aku menatap tumpukan menjulang kotak kayu di sepanjang lorong gang.
Hampir tidak ada cahaya di sini. Untungnya mataku cukup tajam untuk melihat tumpukan balok kayu yang menghalangi jalanku. Melangkah pelan melewati balok-balok kayu, aku menajamkan pendengaran berusaha mencari keberadaan laki-laki itu.
Aku mendengar suara orang-orang bicara dari tempat di depanku. Menajamkan pendengaran, aku mengendap-endap perlahan ke samping tumpukan kotak kayu yang membatasiku dengan mereka. Mengintip dari sela-sela kotak kayu, aku melihat laki-laki keparat tadi yang menyeringai sambil memain-mainkan tasku.
Dengan penuh perasaan, aku memberi keparat ini sebuah tendangan. Tepat di wajah. Sebuah senyum sinis terukir di bibirku saat melihatnya terjungkang dan darah yang mengalir di sudut bibirnya.
“Dasar bajingan brengsek. Berani juga kau mencuri tasku. Tasku itu sama sekali tidak ada harganya, bodoh.” Aku mengejeknya.
Aku ingin memberinya satu tendangan lagi saat instingku membuat tubuhku bergerak refleks ke bawah. Dan... taraa! Sebuah pisau melesat beberapa senti di atas kepalaku. Kontan aku mundur. Ah, aku melupakan keberadaan teman-temannya.
2 temannya membantu laki-laki itu berdiri. Di sampingku, 2 orang laki-laki dengan rambut awut-awutan dan jambang yang tidak beraturan menggenggam balok kayu. Sementara pria yang lebih tinggi dari yang lain berdiri waspada bersama laki-laki botak yang memegang pisau karatan –yang aku sangat yakin sekali baru saja ia ayunkan ke kepalaku tadi- di sebelahnya.
“Kau... beraninya...!” geram laki-laki keparat tadi sambil memegang rahangnya.
Aku menatapnya sinis. “Itulah konsekuensinya jika kau berani mencuri tasku.” sahutku enteng. Dari sudut mataku, aku melihat laki-laki botak dan si besar itu menyerangku bersama-sama sambil mengayunkan senjata masing-masing ke tubuhku
Tapi, aku menyeringai, jangan sebut aku Reka jika tidak bisa mengalahkan mereka. Dan dengan satu gerakan cepat, aku membuat mereka pingsan. Well, ini terlalu mudah. Aku sengaja memanas-manasi mereka.
“Hanya segini saja yang bisa kalian lakukan? Cih, memalukan sekali.” kupandang para keparat yang lain dengan tatapan merendah.
Mereka menggeram marah. Ada beberapa yang mengumpat. Teman yang membantu laki-laki tadi memukulku, tapi dengan mudah kutangkis. Dengan cepat aku menendang pinggangnya, tapi ia menangkap kakiku. Momen ini tidak kusia-siakan. Aku langsung memutar tubuhku dan melayangkan tendangan tepat di pelipisnya dengan kakiku yang bebas. Kami tersungkur, dan aku menjadikannya bantalan saat aku terjatuh. Yah, lumayan empuk.
Aku bangkit perlahan dan menepuk-nepuk bajuku. “Ah... kotor.”
Dari sudut mata aku melihat satu orang lagi maju menyerangku. Ia melayangkan pisau belati ke arahku. Untungnya dengan cepat aku menghindar. Tapi ujung mata pisaunya masih sempat menggores pipiku. Rasa nyeri dan panas menyeruak saat noda merah mengalir keluar dari luka di pipiku.
“Aw. Ini cukup sakit, kau tahu?” kataku sambil mengusap darah yang mengalir dengan penggung tanganku.
Ia menghunuskan pisau itu ke arahku lagi, tapi kali ini aku lebih siap. Aku menghindar ke samping, sehingga pisaunya hanya mengenai angin. Dan sedetik kemudian, aku mendengar erang kesakitan di belakangku. Refleks aku berbalik.
Aku melihat ada seorang cowok dengan rambut coklat kehitaman berdiri memunggungiku. Sedangkan di depannya laki-laki bercodet yang membantu laki-laki keparat tadi terduduk sambil memegangi hidungnya yang berdarah. Dan tak jauh darinya, ada sebuah tongkat besi. Kurasa cowok ini yang memukulnya.
“Berkelahi dari belakang itu kan curang.” katanya. Untuk beberapa saat aku terpana melihatnya.
“Merunduk!” teriak seseorang. Refleks aku dan cowok di depanku melakukannya. Sedetik kemudian terdengar suara “buk” dan suara “duk”. Aku menoleh, dan melihat si botak yang tadi sempat melukaiku sudah terkapar di tanah.
“Kau tidak apa-apa kan?” suara itu terdengar lagi. Lalu ada tangan yang terulur ke arahku. Aku mendongak, dan mendapati sepasang mata biru malam milik seorang cowok dengan rambut hitam legam menatapku khawatir.
Aku menerimauluran tangannya. “Tidak buruk.” kataku.
Suara “duk” terdengar lagi. Aku menoleh ke asal suara. Ternyata si rambut coklat sedang menghajar keparat itu. Sambil berdiri terhuyung-huyung dan memaki pelan, ia langsung kabur. Si rambut coklat mangambil tas ranselku dan berjalan ke arahku.
“Ini punyamu?” katanya sambil mengulurkan tasku.
“Yep. Terima kasih.” sahutku seraya mengambil tasku.
“Kembali.” jawabnya kalem. Matanya yang seperti kristal es biru pudar begitu indah, apalagi saat ia menyunggingkan senyum tipis.
“Waaw... biru...” gumamku pelan.
Alis matanya terangkat sedikit. “Apa?”
Aku mengerjap, sadar aku baru saja bergumam. “Tidak. Lupakan.”
“Well,” si rambut hitam menyela, “kurasa sebaiknya kita mencari plester dan alkohol untuk merawat lukamu. Darahnya mengalir lebih banyak.” Ups. Aku baru sadar darahnya mengalir lagi. Dan menetes ke tanah.
“Ah, ya. Kalau begitu, ayo.” Si rambut coklat menggandeng tanganku, sementara si rambut hitam meraih ranselku. Kami keluar lorong dengan sedikit tergesa, karena darahku mulai berceceran. Saat kami sampai di jalanan, si rambut hitam menyerahkan ranselku pada si rambut coklat. Lalu ia pergi.
Aku tidak tahu kemana dia pergi, karena si rambut coklat menarikku pergi bersamanya. Kami berjalan bergandengan tangan dan sedikit tergesa-gesa menuju persimpangan. Sepanjang jalan, orang-orang memperhatikan kami, tapi aku mengacuhkannya. Aku sibuk mengelap pipiku dengan punggung tangan untuk mencegah banyak darah yang keluar. Yah, walau aku mulai merasakan wajahku memanas karena malu.
Kami melewati kerumunan orang yang ada di jalan dengan keluwesan penari jalanan, walau sesekali si rambut coklat melindungiku dari resiko berdesakan dengan orang lain. Sesampainya di perempatan, kami berbelok. Ternyata menuju taman kota.
Brengsek. Ternyata tadi aku hanya mengikuti keparat itu berputar-putar saja?! Dan ternyata, lorong tadi hanya berjarak 50 meter dari taman?! Awas kalau aku bertemu dengannya lagi.
Sesampainya di sana, ia menyuruhku duduk di bangku taman. “Tunggu di sini.” Pesannya sebelum pergi meninggalkanku.
Aku menyandarkan tubuhku pada sandaran bangku dengan tanganku –yang sudah penuh darah-  masih mengusap-usap luka di pipiku. Aku cukup lelah karena harus menyamai langkah cowok itu yang terlalu lebar untuk ukuran cewek mungil sepertiku (well, aku benci mengakuinya. Tapi ini memang kenyataan). Aku menghela napas panjang.
Tak berapa lama, si cowok berambut hitam yang tadi pergi datang menghampiriku sambil membawa bungkusan plastik di tangannya. Tak selang berapa lama, si rambut coklat datang dari arah lain. Ia menenteng botol air minum ukuran sedang yang isinya masih penuh. Si rambut hitam tadi mengeluarkan kotak putih kecil dari bungkusan dan menyerahkannya pada si rambut coklat. Aku memperhatikannya saat membuka kotak itu dan mengmbil kapas dari dalamnya, dan menuangkan sedikit air pada kapas itu.
“Apa yang kau lakukan?” tanyaku heran.
Alisnya terangkat sedikit. “Tentu saja membersihkan darahmu.” Ia mendongakkan kepalaku, lalu dengan lembut mengusap kapas basah itu ke lukaku. Aku meringis saat pipiku terasa pedih karena terkena air. Ia melakukannya terus menerus hingga tidak ada darah yang keluar. Begitu juga dengan tanganku. Ia mengusap darah yang ada di tanganku dengan kapas dan banyak air.
“Sekarang mensterilkan lukanya.” kali ini si rambut hitam yang mengusap pipiku dengan kapas basah karena alkohol. Rasanya saat bersentuhan dengan kulitku menimbulkan sensasi dingin yang nyaman. Tapi aku merasa dinginnya tidak senyaman dingin sesuatu –atau seseorang?- yang lain. Dan tiba-tiba saja aku dilanda kerinduan akan rasa dingin itu.
__________________________________________________________________



A/N: SUMPAH BANYAK BANGEEET!!!! *teriak sambil ngacak-ngacak rambut*

Oke. Rasanya udah lama banget ini fic ga ke updet... =____= Yaah...ini akhir dari BAB 1. hahaha....gua bikinnya per-bab sih.
___________________________________________________________________

Aku masuk kembali ke dalam kamar. Kali ini aku mencari barang-barang yang bisa kupakai. Aku mengobrak-abrik lemari, berharap kebiasaan abad lampau belum berubah hingga sekarang. Dan benar saja, aku menemukan pisau belati dan tali. Walau sarung pisaunya berdebu dan beberapa bagiannya berkarat, tapi untung pisaunya masih mulus, tajam, dan berkilau. Talinya juga masih kuat.
Setelah itu aku membongkar isi meja rias, dan menemukan beberapa benda berguna. Aku mengumpulkan semua barang-barang itu ke tempat tidur saat mataku menangkap siluet hitam di atas meja. Tas ranselku! Aku memeriksa isinya, tak ada yang hilang. Isinya masih sama seperti saat aku pergi ke toko. Ini menguntungkan, karena alat-alat perkemahan yang kubeli tadi masih ada.
Tatapanku berpindah ke nampan di samping ranselku. Isinya roti berselai, sebuah apel, 2 buah kue –yang aku tidak tahu apa namanya- dan segelas susu.
Waw. Kebetulan sekali, aku lapar.
Setelah memasukkan barang-barang di tempat tidur ke dalam ranselku, aku langsung menghabiskan makanan itu.
Well, semua beres. Sekarang tinggal mencari pakaian yang cocok. Aku membongkar lagi lemari pakaian, mencari pakaian yang cocok tapi tidak mencolok.
Dengan sedikit pertimbangan, akhirnya aku memutuskan memakai baju yang mungkin adalah jubah berwarna hitam malam selutut. Tapi aku tetap memakai baju dan celana jeansku. Setelah selesai berpakaian, aku menaruh ransel di pundak. Sambil mengikat tali di tiang balkon, aku memantau pekarang di bawah. Aku mengamatinya berulang kali, memastikan tidak ada seorangpun yang melihatku. Setelah yakin keadaan aman, aku mengikatkan ujung tali lain ke pinggangku. Aku berdiri hati-hati di atas pagar balkon sambil membawa lilitan tali tadi. Aku berbalik perlahan menghadap kamar dan merentangkan tangan. Lalu aku terjun.

ÂÂÂ

Ketika aku berhasil menginjakkan kaki ke tanah dengan baik –syukurlah- aku sadar akan keadaan yang aman. Tanpa berpkir lagi, aku langsung berlari menuju jalan setapak itu. Terus berlari. Berlari. Walau kakiku terasa sakit. Aku tidak memperdulikan dahan-dahan yang menghalangi langkahku. Tidak peduli dengan ranting-ranting yang menggores lenganku. Aku terus berlari. Nafasku semakin memburu. Aku tak tahu sampai kapan aku bisa terus berlari. Keinginanku sekarang adalah menjauh dari tempat itu –yang setelah kuperhatikan, ternyata adalah puri, puri terkutuk itu-, walaupun aku harus merangkak sekalipun. Yang jelas, harus ketempat aman yang jauh sekali dari sini.
Sesaat sebelum aku sampai di jalan yang lebih besar, aku melihat sekelebat bayangan di salah satu jendela. Bayangan itu hampir tidak kuperhatikan sampai aku melihat warna lain. Warna kelabu yang mendekati hitam, dan biru. Biru malam yang indah. Warna itu begitu kontras dengan dinding-dindingnya yang berwarna putih gading.
Aku menatap warna itu, mengamatinya. Berusaha mengenali benda apa itu. Tapi ketika sadar aku berhenti berlari, secara spontan aku langsung berbalik dan mulai berlari lagi. Aku tidak memperdulikan warna itu, karena apapun itu, kurasa itu adalah sesuatu yang berbahaya.

 ÂÂÂ