~* Black Winged Angel *~

Vali dan Narvi

About Me

Foto saya
Seorang cewek yang baru menyadari kalo dirinya adalah seorang Fujoshi tingkat medium,Pecinta doujin Shonen ai & Yaoi (dengan beberapa pengecualian) tapi hanya yang gambarnya bikin...aw~, punya impian memiliki serigala, punya sayap(hiks!),mengendalikan api(HUAA!!pengen BGT!!). Saat ini sedang mencoba membaca doujin Final Fantasy 7...tapi masih menolak versi Hardcore or Lemon. Cih, gara-gara seorang doujinka dengan pen-name KIKI (sialan!) yang telah menularkan dengan gambar Cloudnya yang... ugh, mimisan gue... *nyari tisu*

...yeah. Gua bikin lagi sebuah cerita. Padahal yang Ao aja belom selese, Beskyttende Crystal males nulis, BOBR(kuadrat) malah kena WB. Eh, sekarang gua malah dapet ide bikin ini gara-gara dicekokin lagu KOKORO/KISEKI seminggu penuh. Gila ga?


...Hah, sudahlah. Yang lalu biarlah berlalu (what the heck?).


Oke. Ini fanfiksi Twilight yang gua bikin, trus agak gua crossover sama Vocaloid. Oh ya, yang ini baru prolog loh. Jadi jangan terlalu berharap para chara Twilight muncul di sini.
Langsung deh, cekidot!




Disclaimer: Keterlaluan banget kalo ga tau siapa yang bikin Twilight. Gue gitu loh! *dilempar bakiak*
Rating: so pasti, T
Genre: err... Romance, Adventure, ... Hurt?
Warning: Maybe typo(s), OOC untuk keperluan fic ini (?), dan beberapa fakta yang TIDAK sesuai kenyataan yang ada, serta OC yang mungkin 'agak' Mary Sue. Oh, setting waktu AU -mungkin setelah Breaking Dawn-



MIRACLE 69
by Reisa Flaurenoct

“Kemarilah.”

“Baik.”


Gadis remaja itu berjalan mendekat ke arah pemuda berjas putih yang duduk di kursi sebelah jendela yang terbuka, menampakkan pemandangan taman bunga-bunga berwarna kuning yang bergoyang perlahan tersapu angin. Gadis itu berdiri di depan si pemuda yang menopang dagu di kusen jendela, sambil menatap pemandangan itu. Iris ruby monochrome sang gadis menatap kosong sang pemuda. Ia hanya berdiri diam, menunggu si pemuda berbicara.


“Apa kau tahu, apa guna angin menyapu bunga-bunga itu?” sang pemuda akhirnya bicara. Ia masih menatap hamparan taman bunga itu.


“Untuk membantu penyerbukan bunga.” jawab sang gadis datar.


“Kalau begitu, kenapa angin menyapu bunga-bunga itu?”


“...”


“Apa keuntungan yang didapat oleh angin, jika ia membantu penyerbukan bunga itu?” pemuda itu terus berbicara.


Sang gadis hanya diam. Ia masih menatap si pemuda tanpa ekspresi. Kemudian sang pemuda menatapnya.


“Apa kau tahu?”


“Tidak. Kejadian ini tidak tergolong dalam golongan simbiosis manapun.” [1]


Sang pemuda tersenyum tipis. “Menurutmu, kenapa begitu?”


Sang gadis terdiam sejenak. “Menurut...ku?” pemuda itu menganggukkan kepalanya sambil menyunggingkan senyum tipis.


“...” “...tidak tahu. Kenapa begitu?”


Si pemuda tertawa kecil. “Menurutku, ya?” sang pemuda bangkit dari tempatnya duduk, “Yah, mungkin... karena hubungan angin dan bunga justru tergolong dalam dua simbiosis yang berbeda?”


Gadis itu memiringkan kepalanya, pertanda ia tidak mengerti. Pemuda yang ditatapnya hanya tersenyum.


Pemuda itu lalu memegang lembut telapak tangan kanan si gadis. “Ayo kita lihat lebih dekat.”


------------------------------------------


Mereka melangkah pelan menuju taman bunga itu. Angin mempermainkan rambut mereka berdua, membuat sedikit helaian rambut perak sang gadis menggelitik telinganya, sedangkan beberapa helai rambut hitam eboni si pemuda melayang-layang di atas kepalanya.


Pemuda itu bersenandung pelan sambil berjalan menyeruak hamparan keemasan di sekelilingnya. Ia masih menggenggam tangan si gadis, membawanya ikut ke tengah hamparan bunga itu.


Mereka berdua duduk dengan menjadikan hamparan bunga kuning emas itu sebagai alasnya. Si pemuda menengadahkan kepalanya lalu memejamkan mata, menikmati belaian lembut angin. Sedangkan sang gadis hanya menatap apa yang dilakukan pemuda di sampingnya. Setelah sekian lama mereka dalam keadaan yang sama, akhirnya sang gadis membuka mulutnya.


“Boleh aku bertanya?”


“Hm?” respon singkat dari si pemuda.


“Kenapa angin mau membantu penyerbukan bunga-bunga ini tanpa keuntungan?”


Sang pemuda mengalihkan pandang ke arah gadis itu. Ia terdiam sejenak, sebelum tersenyum geli.


“Tanpa keuntungan?” ia tertawa kecil, “Angin tidak pernah mencari keuntungan dari bantuan yang ia berikan. Tak pernah sekalipun. Karena baginya, membantu makhluk hidup berkembang, sudah merupakan suatu keuntungan baginya.”


Gadis di sebelahnya tidak berbicara. Hanya mendengarkan dalam diam.


“Apa kau tahu,” si pemuda menengadahkan kepalanya ke atas, ”angin adalah makhluk hidup-tapi mati yang umurnya sama tuanya dengan bumi. Ia adalah saksi hidup yang bisu untuk segala hal yang terjadi di masa lalu, sekarang, maupun masa depan. Satu-satunya makhluk yang bebas; benar-benar bebas. Bukan sekedar bebas pergi kemanapun, tapi juga bebas dari lingkaran kehidupan-mangsa dan yang dimangsa. Angin tidak bisa ditebak; sesaat yang lalu ia datang dengan matahari yang cerah dan semilirnya yang lembut, sesaat kemudian ia malah datang dengan awan hitam yang dingin dan sapuan keras yang bisa menghempaskanmu.” Ia berhenti sejenak.


“Apakah angin se-misterius itu?”


Pemuda itu mengerlingkan matanya ke sang gadis.”Kau mempelajari kata baru lagi, ya.” Gadis disampingnya hanya mengangguk.


Ia menepuk pelan kepala si gadis sambil tersenyum kecil. “Ya, angin sangat misterius.” Katanya.


“Kau tidak bisa melihat wujudnya-apalagi merabanya, tapi kau bisa merasakan saat angin ada di sekitarmu.” Ia berhenti sejenak, seperti sedang memikirkan sesuatu. Tapi kemudian malah tertawa.


“Bukankah alat indra kita bisa menipu?”


“Kenapa?” tanya si gadis.


Pemuda di sampingnya menatapnya sambil tersenyum hangat. “Kau meraba suatu benda menggunakan alat peraba; yaitu kulit. Tapi kenapa kita tidak bisa meraba angin? Karena angin tidak berbentuk juga tidak terlihat, jadi kita tidak bisa merabanya. Tapi anehnya, kita bisa merasakan semilir angin yang melewati kulit kita. Kenapa kita tidak bisa meraba angin sedangkan angin bisa meraba kita? Bukankah itu terdengar lucu?”


“Aku... tidak mengerti.” Gadis itu memiringkan kepalanya.


“Yah... kau tidak akan mengerti sekarang. Tapi, suatu saat nanti kau pasti mengerti.”


Sang gadis hanya diam. Tangannya meraih beberapa helai kelopak bunga yang berjatuhan di sekitarnya karena dipermainkan angin.


“Apakah masalah ini sama halnya dengan kau yang tidak pernah tersenyum?” kali ini si pemuda yang bertanya.


“Tidak. Hubungan angin dan bunga, karena aku tidak mengerti. Sedangkan diriku yang tidak pernah tersenyum, karena aku tidak tahu caranya.”


“Tidakkah kau merasa senang ataupun sedih?”


“...” “Apa itu?”


Sang pemuda terdiam. Tercipta keheningan panjang yang terjadi karena si pemuda belum berbicara juga. Tapi kemudian, ia malah tersenyum. Bukan, bukan senyum tipis ataupun senyuman geli yang selalu tersungging di bibir tipisnya. Tapi ini senyuman yang berbeda; senyuman tipis yang sama-


-tapi menyiratkan kesedihan.


Pemuda itu lalu memeluk gadis kecil di sampingnya dengan erat. Menyurukkan kepalanya ke pundak sang gadis, ia diam. Keheningan panjang terjadi lagi, tapi dengan angin yang membelai lembut mereka berdua, juga dengan helai-helai kelopak bunga yang terbang terbawa angin maupun yang jatuh di tubuh mereka berdua. Tidak ada yang bergerak.


“...Setto-sama?” gadis itu memanggilnya pelan.


“Ya, Kirei?”


“Anda kenapa?”


“...tidak kenapa-kenapa.”


“Kalau begitu, kenapa tidak menjawab pertanyaanku?”


Pemuda yang dipanggil Setto itu tidak berbicara lagi. Ia mempererat pelukannya sesaat lalu memundurkan kepalanya, menatap Kirei-gadis stoic itu, walau ia tidak melepas tangannya dari tubuh Kirei.


“Karena hal seperti itu tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Perasaan senang maupun sedih lebih misterius dibandingkan dengan angin, Kirei.” Setto menatap mata Kirei. Merah ruby bertemu biru metallic.


“Kalau begitu, bagaimana agar aku bisa mengerti?” tanya Kirei.


Setto tersenyum. “Kau harus merasakannya sendiri.”


“Caranya?”


“Temukan dan aktifkanlah program ‘Heart’ itu,” Setto mencium kening Kirei sebelum melanjutkan.


Miracle 6: Q-RAY.”

_______________________________________________________________





[1]:Ada 3 kan? Simbiosis Mutualisme, Parasitisme, sama satu lagi gua lupa. Yang 1 makhluk mendapatkan untung sementara yang satunya ga dapet apa-apa. Ga dapet untung maupun rugi itu loh.


(Background music: Kufufu no Fu)


A/N: Well... percakapan tentang angin dan bunga itu sebenarnya di kepala gua ga kayak gitu. Lebih panjang dan belibet. Tapi karena gua jadi bingung sendiri nulisnya, jadi yaa... cuma segitu aja. Itupun muncul sendiri tepat saat gua lagi nulis prolog ini, jadi supaya rada panjang ya gua tulis aja. Tapi kayaknya kok panjang banget untuk sebuah prolog??
Ah sudahlah. -dilempar baskom-

Nyahaha~ Gimana? Terasa aneh? Emang. Kan udah dibilang di atas tadi, di sini chara Twilight ga muncul. Mungkin chapter depan. Ato depannya lagi. Kufufufufu~

Well, sebenarnya OC disini cuma Kirei (Q-RAY) doank lho.... 
So~ apakah kalian tahu siapa 'Setto' disini?? *evil smile*

Sabtu, 20 November 2010

A-K-H-I-R-N-Y-A !

Gua seneng. Seneng. Banget. Banget. Banget.

Akhirnya, setelah berteliti mendownload codenya, bersabar saat ga bisa di upload, beradu mulut dengan kakak gua gara-gara OL kelewat batas, nangis bersedu-sedu (baca: mewek) gara-gara semua browser kaga ada yg bisa mengupload....

AKHIRNYA MAU JUGA TEMPLATE FINAL FANTASY VERSUS INIIII...!!!!

*tabur confetti*

Ternyata, file yang gua download itu ga selese, jadi pas gua upload kaga mau.
Untung aja pas pake mozilla buat nge upload mau juga.

Huaaaa~~ gua seneng bangeeet...!!!

PERKENALAN

Hari sudah mulai siang ketika aku melihat kota di bawah bukit. Aku menghembuskan napas lega. Akhirnya ketemu juga! Dengan menumpang truk tua yang lewat, aku pergi ke kota itu.
Untung saja perjalanannya tidak memakan waktu terlalu lama. Sekarang aku sudah sampai di depan gerbang kota, dan langsung masuk mencari peta wilayah yang biasanya ada di tengah kota. Aku harus tahu aku ada dimana!
Aku berjalan semakin ke dalam kota. Banyak rumah-rumah –yang seperti apartemen- tua berdiri. Aku merasa seperti berada di kota Eropa jaman dulu. Yang membuatku yakin aku tidak berpindah tempat dan waktu adalah, pakaian orang-orangnya. Lagipula di antara rumah-rumah tua itu, ada beberapa kota makanan siap saji. Aku beristirahat sejenak di bangku taman, melepas mantel dan memasukkannya ke tas. Karena cahaya matahari terlalu terik, aku memakai topi dengan sedikit menyembunyikan sebagian rambut panjangku yang sebatas bahu ke dalam topi.
Aku bersandar di bangku taman dan sedikit menengadahkan kepala. Berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Berusaha mencerna keadaanku yang –entah dimana sekarang ini- sedang berlari, menghindari sesuatu –tepatnya seseorang- yang entah mengapa terus mengerjarku. Apa aku punya hutang padanya? Kurasa tidak. Toh kalaupun aku punya hutang padanya, err... apa hutangku itu?
Kuacak-acak rambutku yang tertutup topi. Ini menyebalkan! Membingungkan sekali. Aku menghela napas panjang. Tidak ada gunanya memikirkan hal itu sekarang.
Aku tidak terlalu memperhatikan orang-orang yang lalu-lalang di sekitarku karena masih terfokus dengan pikiran yang ada di kepalaku, hingga aku jadi tidak waspada. Sesaat yang lalu aku masih merasakan permukaannya yang lembut, tapi sekarang sama sekali tidak terasa.
Aku menoleh, dan saat itu juga aku melihatnya; seorang laki-laki yang berlari menjauh sambil menenteng ransel milikku.
“HEEEIII..!!!!!” melompat secepat yang kubisa, aku langsung berlari mengejarnya yang langsung melesat kabur.
Ia berlari ke jalan, menyelinap di antara kerumunan orang. Aaargh! Son of bitch! Aku akan membunuhnya!
Aku menyelinap juga. Untung saja tubuhku kecil, jadi tidak perlu tertahan oleh desakan orang-orang di sekelilingku. Sambil terus merangsek maju, aku bisa melihat sekilas ujung tasku sebelum kembali tertelan kerumunan orang. Tanpa sadar, sebuah seringai lebar terukir di bibirku. Aku sudah benar-benar tidak bisa menyembunyikan aura kemarahanku lagi.
Ia menyelinap ke sebuah gang sempit, tak jauh dari tempatku berada. Khu... dia pikir dia sudah berhasil mengelabuiku, eh? Tidak secepat itu, git.
Dengan gerakan luwes, aku keluar dari kerumunan dan dengan santai berjalan memasuki gang sempit itu. Wow.  Banyak sekali kotak kayu di sini, aku menatap tumpukan menjulang kotak kayu di sepanjang lorong gang.
Hampir tidak ada cahaya di sini. Untungnya mataku cukup tajam untuk melihat tumpukan balok kayu yang menghalangi jalanku. Melangkah pelan melewati balok-balok kayu, aku menajamkan pendengaran berusaha mencari keberadaan laki-laki itu.
Aku mendengar suara orang-orang bicara dari tempat di depanku. Menajamkan pendengaran, aku mengendap-endap perlahan ke samping tumpukan kotak kayu yang membatasiku dengan mereka. Mengintip dari sela-sela kotak kayu, aku melihat laki-laki keparat tadi yang menyeringai sambil memain-mainkan tasku.
Dengan penuh perasaan, aku memberi keparat ini sebuah tendangan. Tepat di wajah. Sebuah senyum sinis terukir di bibirku saat melihatnya terjungkang dan darah yang mengalir di sudut bibirnya.
“Dasar bajingan brengsek. Berani juga kau mencuri tasku. Tasku itu sama sekali tidak ada harganya, bodoh.” Aku mengejeknya.
Aku ingin memberinya satu tendangan lagi saat instingku membuat tubuhku bergerak refleks ke bawah. Dan... taraa! Sebuah pisau melesat beberapa senti di atas kepalaku. Kontan aku mundur. Ah, aku melupakan keberadaan teman-temannya.
2 temannya membantu laki-laki itu berdiri. Di sampingku, 2 orang laki-laki dengan rambut awut-awutan dan jambang yang tidak beraturan menggenggam balok kayu. Sementara pria yang lebih tinggi dari yang lain berdiri waspada bersama laki-laki botak yang memegang pisau karatan –yang aku sangat yakin sekali baru saja ia ayunkan ke kepalaku tadi- di sebelahnya.
“Kau... beraninya...!” geram laki-laki keparat tadi sambil memegang rahangnya.
Aku menatapnya sinis. “Itulah konsekuensinya jika kau berani mencuri tasku.” sahutku enteng. Dari sudut mataku, aku melihat laki-laki botak dan si besar itu menyerangku bersama-sama sambil mengayunkan senjata masing-masing ke tubuhku
Tapi, aku menyeringai, jangan sebut aku Reka jika tidak bisa mengalahkan mereka. Dan dengan satu gerakan cepat, aku membuat mereka pingsan. Well, ini terlalu mudah. Aku sengaja memanas-manasi mereka.
“Hanya segini saja yang bisa kalian lakukan? Cih, memalukan sekali.” kupandang para keparat yang lain dengan tatapan merendah.
Mereka menggeram marah. Ada beberapa yang mengumpat. Teman yang membantu laki-laki tadi memukulku, tapi dengan mudah kutangkis. Dengan cepat aku menendang pinggangnya, tapi ia menangkap kakiku. Momen ini tidak kusia-siakan. Aku langsung memutar tubuhku dan melayangkan tendangan tepat di pelipisnya dengan kakiku yang bebas. Kami tersungkur, dan aku menjadikannya bantalan saat aku terjatuh. Yah, lumayan empuk.
Aku bangkit perlahan dan menepuk-nepuk bajuku. “Ah... kotor.”
Dari sudut mata aku melihat satu orang lagi maju menyerangku. Ia melayangkan pisau belati ke arahku. Untungnya dengan cepat aku menghindar. Tapi ujung mata pisaunya masih sempat menggores pipiku. Rasa nyeri dan panas menyeruak saat noda merah mengalir keluar dari luka di pipiku.
“Aw. Ini cukup sakit, kau tahu?” kataku sambil mengusap darah yang mengalir dengan penggung tanganku.
Ia menghunuskan pisau itu ke arahku lagi, tapi kali ini aku lebih siap. Aku menghindar ke samping, sehingga pisaunya hanya mengenai angin. Dan sedetik kemudian, aku mendengar erang kesakitan di belakangku. Refleks aku berbalik.
Aku melihat ada seorang cowok dengan rambut coklat kehitaman berdiri memunggungiku. Sedangkan di depannya laki-laki bercodet yang membantu laki-laki keparat tadi terduduk sambil memegangi hidungnya yang berdarah. Dan tak jauh darinya, ada sebuah tongkat besi. Kurasa cowok ini yang memukulnya.
“Berkelahi dari belakang itu kan curang.” katanya. Untuk beberapa saat aku terpana melihatnya.
“Merunduk!” teriak seseorang. Refleks aku dan cowok di depanku melakukannya. Sedetik kemudian terdengar suara “buk” dan suara “duk”. Aku menoleh, dan melihat si botak yang tadi sempat melukaiku sudah terkapar di tanah.
“Kau tidak apa-apa kan?” suara itu terdengar lagi. Lalu ada tangan yang terulur ke arahku. Aku mendongak, dan mendapati sepasang mata biru malam milik seorang cowok dengan rambut hitam legam menatapku khawatir.
Aku menerimauluran tangannya. “Tidak buruk.” kataku.
Suara “duk” terdengar lagi. Aku menoleh ke asal suara. Ternyata si rambut coklat sedang menghajar keparat itu. Sambil berdiri terhuyung-huyung dan memaki pelan, ia langsung kabur. Si rambut coklat mangambil tas ranselku dan berjalan ke arahku.
“Ini punyamu?” katanya sambil mengulurkan tasku.
“Yep. Terima kasih.” sahutku seraya mengambil tasku.
“Kembali.” jawabnya kalem. Matanya yang seperti kristal es biru pudar begitu indah, apalagi saat ia menyunggingkan senyum tipis.
“Waaw... biru...” gumamku pelan.
Alis matanya terangkat sedikit. “Apa?”
Aku mengerjap, sadar aku baru saja bergumam. “Tidak. Lupakan.”
“Well,” si rambut hitam menyela, “kurasa sebaiknya kita mencari plester dan alkohol untuk merawat lukamu. Darahnya mengalir lebih banyak.” Ups. Aku baru sadar darahnya mengalir lagi. Dan menetes ke tanah.
“Ah, ya. Kalau begitu, ayo.” Si rambut coklat menggandeng tanganku, sementara si rambut hitam meraih ranselku. Kami keluar lorong dengan sedikit tergesa, karena darahku mulai berceceran. Saat kami sampai di jalanan, si rambut hitam menyerahkan ranselku pada si rambut coklat. Lalu ia pergi.
Aku tidak tahu kemana dia pergi, karena si rambut coklat menarikku pergi bersamanya. Kami berjalan bergandengan tangan dan sedikit tergesa-gesa menuju persimpangan. Sepanjang jalan, orang-orang memperhatikan kami, tapi aku mengacuhkannya. Aku sibuk mengelap pipiku dengan punggung tangan untuk mencegah banyak darah yang keluar. Yah, walau aku mulai merasakan wajahku memanas karena malu.
Kami melewati kerumunan orang yang ada di jalan dengan keluwesan penari jalanan, walau sesekali si rambut coklat melindungiku dari resiko berdesakan dengan orang lain. Sesampainya di perempatan, kami berbelok. Ternyata menuju taman kota.
Brengsek. Ternyata tadi aku hanya mengikuti keparat itu berputar-putar saja?! Dan ternyata, lorong tadi hanya berjarak 50 meter dari taman?! Awas kalau aku bertemu dengannya lagi.
Sesampainya di sana, ia menyuruhku duduk di bangku taman. “Tunggu di sini.” Pesannya sebelum pergi meninggalkanku.
Aku menyandarkan tubuhku pada sandaran bangku dengan tanganku –yang sudah penuh darah-  masih mengusap-usap luka di pipiku. Aku cukup lelah karena harus menyamai langkah cowok itu yang terlalu lebar untuk ukuran cewek mungil sepertiku (well, aku benci mengakuinya. Tapi ini memang kenyataan). Aku menghela napas panjang.
Tak berapa lama, si cowok berambut hitam yang tadi pergi datang menghampiriku sambil membawa bungkusan plastik di tangannya. Tak selang berapa lama, si rambut coklat datang dari arah lain. Ia menenteng botol air minum ukuran sedang yang isinya masih penuh. Si rambut hitam tadi mengeluarkan kotak putih kecil dari bungkusan dan menyerahkannya pada si rambut coklat. Aku memperhatikannya saat membuka kotak itu dan mengmbil kapas dari dalamnya, dan menuangkan sedikit air pada kapas itu.
“Apa yang kau lakukan?” tanyaku heran.
Alisnya terangkat sedikit. “Tentu saja membersihkan darahmu.” Ia mendongakkan kepalaku, lalu dengan lembut mengusap kapas basah itu ke lukaku. Aku meringis saat pipiku terasa pedih karena terkena air. Ia melakukannya terus menerus hingga tidak ada darah yang keluar. Begitu juga dengan tanganku. Ia mengusap darah yang ada di tanganku dengan kapas dan banyak air.
“Sekarang mensterilkan lukanya.” kali ini si rambut hitam yang mengusap pipiku dengan kapas basah karena alkohol. Rasanya saat bersentuhan dengan kulitku menimbulkan sensasi dingin yang nyaman. Tapi aku merasa dinginnya tidak senyaman dingin sesuatu –atau seseorang?- yang lain. Dan tiba-tiba saja aku dilanda kerinduan akan rasa dingin itu.
__________________________________________________________________



A/N: SUMPAH BANYAK BANGEEET!!!! *teriak sambil ngacak-ngacak rambut*

Oke. Rasanya udah lama banget ini fic ga ke updet... =____= Yaah...ini akhir dari BAB 1. hahaha....gua bikinnya per-bab sih.
___________________________________________________________________

Aku masuk kembali ke dalam kamar. Kali ini aku mencari barang-barang yang bisa kupakai. Aku mengobrak-abrik lemari, berharap kebiasaan abad lampau belum berubah hingga sekarang. Dan benar saja, aku menemukan pisau belati dan tali. Walau sarung pisaunya berdebu dan beberapa bagiannya berkarat, tapi untung pisaunya masih mulus, tajam, dan berkilau. Talinya juga masih kuat.
Setelah itu aku membongkar isi meja rias, dan menemukan beberapa benda berguna. Aku mengumpulkan semua barang-barang itu ke tempat tidur saat mataku menangkap siluet hitam di atas meja. Tas ranselku! Aku memeriksa isinya, tak ada yang hilang. Isinya masih sama seperti saat aku pergi ke toko. Ini menguntungkan, karena alat-alat perkemahan yang kubeli tadi masih ada.
Tatapanku berpindah ke nampan di samping ranselku. Isinya roti berselai, sebuah apel, 2 buah kue –yang aku tidak tahu apa namanya- dan segelas susu.
Waw. Kebetulan sekali, aku lapar.
Setelah memasukkan barang-barang di tempat tidur ke dalam ranselku, aku langsung menghabiskan makanan itu.
Well, semua beres. Sekarang tinggal mencari pakaian yang cocok. Aku membongkar lagi lemari pakaian, mencari pakaian yang cocok tapi tidak mencolok.
Dengan sedikit pertimbangan, akhirnya aku memutuskan memakai baju yang mungkin adalah jubah berwarna hitam malam selutut. Tapi aku tetap memakai baju dan celana jeansku. Setelah selesai berpakaian, aku menaruh ransel di pundak. Sambil mengikat tali di tiang balkon, aku memantau pekarang di bawah. Aku mengamatinya berulang kali, memastikan tidak ada seorangpun yang melihatku. Setelah yakin keadaan aman, aku mengikatkan ujung tali lain ke pinggangku. Aku berdiri hati-hati di atas pagar balkon sambil membawa lilitan tali tadi. Aku berbalik perlahan menghadap kamar dan merentangkan tangan. Lalu aku terjun.

ÂÂÂ

Ketika aku berhasil menginjakkan kaki ke tanah dengan baik –syukurlah- aku sadar akan keadaan yang aman. Tanpa berpkir lagi, aku langsung berlari menuju jalan setapak itu. Terus berlari. Berlari. Walau kakiku terasa sakit. Aku tidak memperdulikan dahan-dahan yang menghalangi langkahku. Tidak peduli dengan ranting-ranting yang menggores lenganku. Aku terus berlari. Nafasku semakin memburu. Aku tak tahu sampai kapan aku bisa terus berlari. Keinginanku sekarang adalah menjauh dari tempat itu –yang setelah kuperhatikan, ternyata adalah puri, puri terkutuk itu-, walaupun aku harus merangkak sekalipun. Yang jelas, harus ketempat aman yang jauh sekali dari sini.
Sesaat sebelum aku sampai di jalan yang lebih besar, aku melihat sekelebat bayangan di salah satu jendela. Bayangan itu hampir tidak kuperhatikan sampai aku melihat warna lain. Warna kelabu yang mendekati hitam, dan biru. Biru malam yang indah. Warna itu begitu kontras dengan dinding-dindingnya yang berwarna putih gading.
Aku menatap warna itu, mengamatinya. Berusaha mengenali benda apa itu. Tapi ketika sadar aku berhenti berlari, secara spontan aku langsung berbalik dan mulai berlari lagi. Aku tidak memperdulikan warna itu, karena apapun itu, kurasa itu adalah sesuatu yang berbahaya.

 ÂÂÂ

Ini gua dapet dari FFn... karena...sumpah, gua cengo sendiri bacanya. Oh, Matt (Mail Jeevas) adalah chara di komik dan anime 'Death Note', yang kepintaran di atas rata-rata. Ga tanggung-tanggung terhebat ke5 setelah Mello... trus dia seorang proffesional hacker yang kehebatannya ga usah dipertanyakan lagi. Dan juga...
.

.

seorang  game-freak.

Sering dipairingkan dengan Mello... hohoho... duo M yang HOT dan kyaaaa kalian itu  OTP-ku lhoooo~~~!!! *fujoshi-nya kambuh*

Ehem... ini beneran ada fanficnya lho, klo mau liat versi aslinya... judulnya sama aja kok. ^___^ V

From Matt, With Love 
by Orange Burst

From Matt, with love

Seandainya hatimu adalah sebuah system, maka akan ku-scan untuk mengetahui port mana yang terbuka sehingga tidak ada keraguan saat aku c:\ nc -l -o -v -e ke hatimu,tapi aku hanya berani ping di belakang anonymouse proxy… Inikah rasanya jatuh cinta sehingga membuatku seperti pecundang? Atau aku memang pecundang sejati? …Whatever!
Seandainya hatimu adalah sebuah system, ingin rasanya aku manfaatkan vulnerabilitiesmu, pake PHP injection Terus aku ls -la; find / -perm 777 -type d,sehingga aku tahu; adakah free space buat aku di hatimu? Apa aku harus pasang backdor "Remote Connect-Back Shell" jadi aku tinggal nunggu koneksi dari kamu saja, biar aku tidak merana seperti ini?
Seandainya hatimu adalah sebuah system, saat semua request-ku diterima aku akan nongkrong terus di bugtraq untuk mengetahui bug terbarumu. Akan ku-patch n pacth terus,aku akan jaga service-mu jangan sampai crash. Aku akan menjadi firewallmu dan memasang portsentry, juga menyeting error pagemu " The page cannot be found Coz Has Been Owned by Someone, so… get out!" Aku janji nggak bakalan ada macelinious program atau service yang hidden, karena aku sangat sayang dan mencintaimu.
Seandainya hatimu adalah sebuah system, jangan ada kata "You dont have permission to access it" untuk aku, kalau ga mau di ping flood Atau DDos Attack… jangan ah…! Kamu harus menjadi sang bidadari penyelamatku.
Seandainya hatimu adalah sebuah system, …? Tapi sayang hatimu bukanlah sebuah system,
kamu adalah sang bidadari impianku, yang telah mengacaukan systemku! Suatu saat nanti aku akan datang n mengatakan kalau di hatiku sudah terinfeksi virus yang Menghanyutkan, Ga ada anti virus yang dapat menangkalnya selain …kamu.
-Matt-

_________________________________________________________________________________

Wahai belahan jiwaku…
aku telah Add cintamu di inbox hatiku
Kan ku save setiap message rindumu
Hingga Gyga Byte memoriku
Wahai kekasih hatiku…
kuJadikan dirimu header and footer cintaku
kujadikan screensaver kasih dan sayangmu
Di setiap lembaran desktop hatiku
Wahai pujaan hatiku…
Bila masa out of date tiba
Jangan kau uninstall kenangan indah kita
Biarlah ia bersemayam di back up hardisk asmara
Wahai mutiara kalbuku...
kujadikan Hanya kaulah master software hatiku
Explore file cintaku yang syahdu
Wahai bidadariku…
aku akan Stabilisasikan LAN hatiku dan hatimu
dan menyeimbangkan transfer cinta kita
Jangan lupa update anti virus cinta
Biar Si Brontok dan Si Trojan tidak mengganggu selamanya
-Matt-

________________________________________________________________________________


(ngakak)
.

.

.

.
(masih ngakak)
.

.

.

.

Oh MY GOD, LO ITU KERACUNAN APA SIH MATT??!!! SUMPAH KACAU BANGET...!!!
(ngakak lagi)

Sabtu, 09 Oktober 2010

Aishiteru, Ao-kun! Part 14

.... Gua kebelet pengen post yang ini. Because keren banget kata-kata English-nyaa..!!
But... kayaknya gua bakal HIATUS ngerjain yang ini... gua mau fokus ngegambar aja deh dulu... hohoho
-kabur sebelum ke timpuk-

_______________________________________________________________________________



5

Sekolah, jam olahraga, lapangan indoor.
Anton dan Rena merasa ada yang aneh pada Ao. Ao terlihat sedikit lesu saat olahraga basket, sepertinya ada yang dia pikirkan sehingga sering terlihat melamun sendiri.
“ Anton, kok kayaknya Ao hari ini kelakuannya aneh...? Kayak ada yang lagi dipikirin…. Hari ini jutek banget, walaupun biasanya jutek juga sih…” tanya Rena sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“ Gue juga ga tau…. Gimana kalo kita tanya aja yuk?” sahut Anton. Mereka mendekati Ao yang sedang duduk sendiri waktu istirahat beberapa menit.
“ Ao, lo kok lesu banget sih…. Lo kenapa? Sakit? Klo gitu kita ke UKS aja.” tanya Rena khawatir.
“ Aku nggak kenapa-kenapa. Memang kenapa?” Ao malah balik bertanya.
“ Lo kok waktu main basket tadi keliatan lesu banget..? Dikira orang lo ga bakal bisa masukin bola. Tapi ni orang tetep aja bisa masukin bola berkali-kali walau keliatan banget lagi ngelamun. Jadi iri nih gue, gue yang konsentrasi banget masukin bola cuma 2, itu juga masukin 1 bola waktunya 30 menit. Lo 1 menit 1 bola..! Lo sebenarnya pake jurus apa sih?” sahut Anton berapi-api.
“ Iya. Lo udah berapa kali kepergok lagi bengong, emang ada apa nih? Kan kasihan sama fans-fans lo itu, mereka pada ribut ngomongin elo,” sambung Rena menggoda Ao.
Ao menatap Rena datar.
“E... Ao...?” Rena salah tingkah dilihatin Ao.
“Apa?”
Rena salting banget sekarang. “Ngapain lo... ngeliatin gue kayak gitu...?” Waw... ada apakah dengan Rena?
Seketika Ao mengerutkan keningnya. “Memangnya kenapa?”
Rena menelan ludah sebelum menjawab, “Gue masih belum mau mati dikeroyok para fans lo itu, jadi jangan ngeliatin gue kayak gitu. Daritadi gue merasakan aura hitam dari para fansclub lo.” Oh, ternyata....
“Ah, gomennasai.”
Anton menepuk bahu mereka berdua, sambil menggelengkan kepalanya (sok) pasrah. “Aduh kalian berdua... gue nggak dianggap ada ya di sini?” Anton menangkupkan tangannya di dada dengan dramatis. Rena yang melihatnya berekspresi jijay, sementara Ao tetap dengan ‘poker face’nya.
“Sumpah lo kayak banci, Ton” kata Rena dengan ekspresi ‘Iueh...’. Dan Rena pun mendapat jitakan ‘tampan’ dari Anton.
Dan dimulailah ronde kedua ‘pertempuran’. Yak! Kedua peserta sudah mengeluarkan deathglare masing-masing ke arah lawannya. Dari sudut merah, Anton bersiap-siap mendaratkan jurus ‘jitakan tampan’nya lagi ke Rena. Di sudut biru, Rena ancang-ancang mengeluarkan jurus ‘cubitan cabe rawit’ kepada Anton. Oh... mereka begitu bernapsu menjatuhkan lawannya, saudara-saudara! Baiklah, kedua peserta sudah sangat  siap, para penonton pun sudah tidak sabar menantikan pertarungan sengit keduanya. Jadi, langsung saja.... Mulai!
BUAKK!
Sebuah bola basket mendarat tepat di kepala mereka berdua. Kemudian memantul ke arah Ao, lalu Ao sedikit memiringkan kepala tepat saat bola itu melewatinya. Menatap bola yang sudah menggelinding jauh itu sebentar, kemudian Ao menengok ke arah Anton dan Rena yang berjongkok memegangi kepala mereka.
“Sakiit...” rintih Anton.
“Woy! Kira-kira dong kalo ngelempar...! sakit banget tau...!” teriak Rena. Ao menghela napas. Ia melihat Lova berlari kecil mendekati mereka.
“Huaa... maapin gue...! Sori banget tadi.... kalian nggak kenapa-kenapa kan...?” Lova terlihat khawatir. Oh, ternyata Lova toh yang ngelempar bolanya....
“Kita nggak kenapa-kenapa, tapi kepala nih yang kenapa-kenapa!” sungut Anton sambil mengusap-usap kepalanya.
“Aduh... sori deh...” Lova merasa bersalah. Tapi Rena dan Anton masih menggerutu.
Ao menghela napas. “Sudahlah... toh hanya bola basket.”
Rena dan Anton mendelik. “Tetep aja sakit!” teriak mereka bersamaan.
“Lebih mending kena bola basket atau bola besi?”
Perkataan Ao itu membuat keduanya bungkam.


Ao POV
Aku menghela napas lagi. Rena dan Anton tetap saja menggerutu... Menyusahkan saja....
“Ah, elo tadi kena bola juga kan?” selidik Rena.
“Tidak.”
“Bo’ong ah! Tadi gue liat bolanya mantul ke elo.” bantah Anton.
Aku menatapnya datar. “Bolanya hanya melewati samping kepalaku.” Dan mereka berteriak bersamaan, “Aah! Curang lo..!”
Apanya yang curang?, aku menghela napas lagi. Entah kenapa akhir-akhir ini aku suka sekali menghela napas.
“Aduh... maapin gue ya...?” kata Lova untuk yang ketiga kalinya.
Deg.
Kenapa... ini..., aku kesulitan bernapas dan jantungku berdenyut nyeri. Tapi aku berusaha menyembunyikannya dengan tetap berwajah datar.
“Ayo semua berkumpul! Sekarang kita akan ambil penilaian!” teriakan Doni-sensei  mengalihkan perhatian semuanya, sekaligus membuat kepalaku berdenyut menyakitkan.
“Tch...”
Rena menoleh padaku, “Yuk Ao, kita-” ucapannya terhenti, “Hei, Ao? Lo baik-baik aja?” sepertinya kupingku berdenging nyaring.
“Tidak apa-apa.” kataku pelan, berusaha terdengar datar.
“Tapi muka lo pucet...”
"Sing a song for you now... And night gone..." Ngiiiing... Suara dengungan keras seperti masuk ke dalam telingaku, aku tidak bisa mendengar Lova yang masih mengoceh.
Dengungannya terasa semakin keras dan membuat kepalaku sakit. "Whenever it will shiny by moonlight..." 
"?" Aku menutup telinga kanan dengan sebelah tanganku, berniat untuk menghilangkan suara itu tapi tampak sia-sia, suara itu makin keras.
"Call me through my dream, anguish came with me." Lagi, lagi dan lagi...
“Ao? Lo baik-baik aja kan??” Anton mengguncang-guncang bahuku.
"Did you see my dream? Thanatos was with me."  Aku semakin tidak bisa bernapas seiring suara itu berdengung di kepalaku. “Aku... aku ke toilet dulu...” tanpa menunggu adanya jawaban, aku segera berlari menuju koridor. Masih sempat kudengar suara mereka bertiga yang memanggil namaku, tapi aku sudah tidak peduli.
Ngiiiiing...
Kepalaku bertambah sakit, dan aku hampir tidak bisa bernapas lagi.
"You'll find me in fears."
 "Ahhh!" Aku bersandar pada tembok dan memekik tertahan karena tidak tahan dengan suara itu.
"Tidak..." Aku tetap menutup kedua telingaku. "Ukh..."
"And all of scream."  Suara itu tergiang lebih keras. Dengungan yang terdengar menyakitkan.
“Uhh...” bibirku gemetaran dan lidahku kelu. “N... No... Noin...” setengah mati aku berusaha mengucapkannya.
Srakk!
Aku mengenal aura ini. Perasaan lega melingkupiku, sesaat sebelum aku jatuh ke dalam kegelapan.

Well... rasanya gua ada bilang bakal beda tempat... tapi syukurnya gua ga janji, jadi gua ga bakal ngerasa bersalah ngepost ini, because ini masih cerita Ao. Gue masih stuck nih bikin cerita An.

_______________________________________________________________________________


Hari Senin yang cerah... begitu indah dengan suara kicauan burung-burung kecil, angin semilir yang sesekali berhembus dengan volume pelan, daun-daun kering yang berjatuhan saat tertiup angin.... Tapi tetap saja tidak ada yang lebih bagus dari dengungan suara-suara berisik yang bergema di tengah lapangan, tetesan keringat yang membasahi hampir sekujur tubuh, tumbangnya beberapa orang yang entah sengaja atau memang tidak kuat lagi, dan yang paling penting, matahari yang bersinar cerah seolah sedang mengejek para murid yang sedang melakukan upacara bendera.
Ya... hari yang sangat cerah.
“Oh gosh... sumpah gue pengen pingsan aja...” rintih Lova setelah menghempaskan tubuhnya di kursi. Nana yang duduk disebelahnya merebahkan kepalanya di meja.
“Lo kira lo aja apa... gue mah udah mau tepar tadi... Kalo aja tuh bel penyelamat telat dikiiit aja bunyi... Huaaaah... dunia mimpi, I’m coming ~~” sahut Nana.
Lova ingin menimpali perkataan Nana saat dari sudut matanya ia melihat sang “Sweety Prince” berada di ambang pintu. Lova hanya menatapnya dengan tatapan oh-my-god-lo-cakep-banget-sih.
“Tapi yah... paling nggak gue seneng sih...”
“Gara-gara lo baris di samping Ao kan?” timpal Nana. Lova hanya tersenyum malu-malu.
“Beuh... kalo gitu kenapa nggak disamperin aja sekarang?? Cepet gih sana. Hus hus...”
Lova memutar bola matanya. “Ngusir nih ceritanya?”
“Hehehe... iya. Tau aja sih loe....” Nana ketawa cengengesan.
“Huh... dasar. Ya udah deh, gue pergi dulu. Sekalian ngasih tau Anton tentang elo yang begitu mengkhawatirkan dia waktu Anton dikejar-kejar fans Ao yang sakit jiwa itu.” kata Lova sambil lalu.
Nana langsung bangkit dengan wajah memerah. “Maksud lo apaan?!”
Sayang Lova sudah ngacir duluan.

TbT

Nah sekarang... gue mesti ngapain?, pikir Lova.
Saat ini ia ada di depan pintu kelas. Bingung mau nyamperin Ao apa nggak. Karena tadi ia lihat Ao berjalan masuk ke ruang guru yang hanya beda 3 kelas dari kelasnya dan Ao.
Uuukh.... Nggak jadi deh..., Lova yang semula udah jalan ke ruang guru, langsung putar haluan. Langsung ngacir ke toilet.
“Duh... gue belum siap... belum siap...” gumam Lova sambil mondar-mandir di toilet. Sesekali ia melongokkan kepala keluar. Mencari-cari keberadaan Ao.
Ya udah deh... gue balik aja, pikir Lova akhirnya. Ia kemudian kembali ke kelasnya.
Haah... coba gue bisa kayak dulu..., Lova jadi teringat kejadian saat ia ‘kumat’ centilnya. Saat dia meminjamkan buku pelajarannya pada Ao. Lova bener-bener pengen jedukin kepalanya ke tembok kalo ingat itu. Duh... malu pisan euy!
Lova terus ngedumel dalam hati sampai-sampai tidak memperhatikan jalan. Tanpa sengaja ia menubruk seseorang yang membawa setumpuk kertas tipis (baca:amat-sangat-tebal) di tangannya sehingga membuat mereka berdua terjatuh. Well, rasa sakitnya lumayan lho. Apalagi Lova jatuhnya pantat duluan.
“Aw!” jerit Lova sambil memegang pantatnya yang menjadi korban karena telah melindungi tulang ekornya dari hantaman lantai keras yang dinginnya sangat tak berperasaan (halah LEBAY!).
“Ah. Gomennasai.” sebuah tangan terulur di depan wajahnya. Lova langsung menyambutnya tanpa memperhatikan lagi siapa yang menolongnya itu. Pelan-pelan Lova berdiri sambil merintih pelan. (Emang sesakit apa sih?? Lebih sakit kan kalo jatuh yang mendarat muka duluan... –ditendang-)
“Tidak apa-apa?” sebuah suara alto yang nge’bass’ dan sangat dikenal Lova, yang sanggup membuatnya dag-dig-dug-dugdug-dug ALLAHU AKBAR ALLAHU AKBAR! Hooree! Buka-an! Buka puasa! –dirajam massa-
Maap atas ketidaknyambungannya. Back to story.
Lova mengangkat wajahnya hanya untuk melihat iris mata berwarna biru langit- lho? Perasaan waktu pertama kali warnanya kayak ungu gitu deh. Tapi Lova tidak menghiraukan pertanyaan yang melayang-layang di benaknya itu. Ia begitu terhanyut akan tatapan mata yang begitu dalam, sedalam samudraa~ (jiah, malah nyanyi) –coughcough- tatapan mata yang begitu memerangkap. Tatapan mata dari orang yang selama ini selalu diperhatikan Lova.
“...Lofa-san?”
(A/N: berhubung di Jepang ga ada huruf ‘v’ –rasanya sih-, jadi Ao manggil Lova dengan “Lofa” dan tambahan ‘san’ untuk kesopanan –caelah bahasanya-, dan huruf ‘v’ diganti menjadi ‘f’)
“Eh... iya... nggak apa-apa kok.” sahut Lova gugup. Ia menunduk, melihat bahwa tumpukan tipis (baca: tebal) kertas yang tadi dibawa Ao berserakan di lantai. “Ah..!” jeritnya tertahan.
Lova berjongkok dan mulai memunguti tumpukan kertas tebal tipis itu satu persatu. Ao juga melakukan hal yang sama.
“Duh... sorry banget ya... gara-gara gue, berkas-berkas lo jadi berantakan gini...”
“Hn....”
Hanya itu huruf kata yang keluar dari mulut Ao. Dan juga sebagai jawaban absurd sebelum akhirnya keheningan panjang (567.332 nanodetik) mengisi suasana canggung (bunga-bunga musim semi bertebaran di hati Lova, malaikat-malaikat kecil bernyanyi dan menari sambil membunyikan lonceng) di sekitar mereka (kertas, kertas, kertas, dan KERTAS).
Oke. Tanda-tanda gaje. Back to story.
Setelah selesai merapikan berkas-berkas yang berserakan, Ao mengulurkan tangannya pada Lova, meminta tumpukan kertas yang berada di pangkuan Lova.
“Eh, nggak usah deh... gue aja yang bawain ya! Daripada ntar lo nabrak orang atau kepeleset atau salah jalur atau apa...gitu, kan berabe urusannya nanti.” kata Lova sambil nyengir.
Ao hanya mengangkat sebelah alisnya. “Baiklah.” Lalu ia berjalan meninggalkan Lova.
Lova bengong.
Ao terus berjalan beberapa langkah, tapi kemudian ia berbalik dengan anggun layaknya Sephiroth Cloud-KU yang tampan-imoet-cuakep-geulis(?)-cuantiek(?)-muaanuiis kayak coklat dari Bermuda (emang ada tuh?), sehingga membuat Lova terpesona. Apalagi background Ao berbalik dengan anggun layaknya Cloud-KU yang tampan-imoet-cua- -author dilempar kursi- *coughcough* ehm, backgroundnya pake bunga-bunga gitu. Tapi jangan salah, bunganya keren dan unik lho, ada mawar hitam (kalo ada), anggrek hitam, mawar biru (kayaknya ada nih), sakura, tsubaki, aster merah (kalo ada), lilac, lily hitam dan merah darah (kayaknya dicat nih), melati, kamboja... KOK JADI NGOMONGIN BUNGA SIH?!
Ehm, maap atas melencengnya cerita. Back to story.
“Sampai kapan kau akan berdiri disitu?” tanya Ao datar. Ia berbalik dan berjalan lagi. Lova mengerjap. “Hei, tunggu dong...!” dengan setengah berlari Lova mengejar Ao yang sudah pergi meninggalkannya.
Selama perjalanan, tak ada satu pun dari mereka yang bicara. Lova –selain rasa berdebar karena ia akhirnya bisa bersama Ao berduaan- bingung ingin mengobrol apa. Sedangkan Ao, ia sedang memikirkan sesuatu.
Karena tak tahan dengan kebisuan di antara mereka, Lova akhirnya memberanikan diri membuka suara.
“Err... Ao, gue bingung deh.... Mata lo itu warnanya aslinya emang biru gitu ya? Rasanya waktu hari pertama lo masuk, mata lo warnanya rada ungu gitu...” Lova bertanya dengan suara pelan.
“Tidak.” Oh, singkat sekali jawabanmu itu, Ao.
“Lho? Jadi lo pake contact lens nih?”
Ao melirik sekilas ke arah Lova. “Saat ini, tidak. Mataku kadang terlalu sensitif terhadap benda asing.”
“Oh...” Lova hanya ber’ooh’ ria. “Ng... jadi, warna mata asli lo apa dong?”
Ao berhenti berjalan, kepalanya menunduk melihat lantai. Ia terdiam. Refleks, Lova ikut berhenti di samping Ao.
“Kau benar-benar ingin tahu?” Ao masih menundukkan wajahnya.
“Em...” mungkin, pikir Lova. “Yeah, gue pengen tahu.” Habis jarang-jarang ada orang dengan mata ‘bule’ kaya elo.
“Warna asli  mataku...” Ao mengangkat wajah, dan menatap Lova. “Merah.”
Lova terpaku. Iris mata Ao yang sekarang menatapnya, bukan lagi biru langit seperti sesaat yang lalu, tapi seperti yang dikatakan Ao barusan. Warnanya merah. Merah darah.  Berkilau dan jernih.
Tatapan mata Ao menghanyutkan Lova. Lova tak bisa mengalihkan pandangan dari manik-manik merah di mata Ao itu, yang seakan bisa menenggelamkan siapa saja yang berani mencoba menyibak rahasia kelam dibaliknya. Mereka berpandangan selama 5 detik –yang terasa sangat lama bagi Lova- sebelum akhirnya Ao menyentakkan kepalanya bawah.
Ao mengangkat wajahnya lagi, warna matanya kembali menjadi biru. “Kurasa kau tidak akan memberitahukan hal yang tidak terlalu penting ini kan?”
Lova yang masih shock, hanya bisa mengangguk pelan. “Kok bisa...?”
Ao hanya melirik Lova dari sudut matanya, salah satu sudut bibirnya tertarik sedikit. Aw... senyum miring yang misterius....
“Rahasia.” kata Ao, kemudian ia berjalan lagi. Lova menyamakan langkah di sebelah Ao.
“Kali ini aku yang bertanya.”
Lova menoleh. “Eh?”
“Kau itu... gurifurendo­  Rico ya?” Lova cengo bentar. “Hah?”
“Ah... maksudku, pacar.”
Lova mangap. Terjadi loading di kepala Lova.
Satu....
Dua.......
Tiga........
Empat.......
Lim-
“HAH?!” Lova hampir berteriak histeris, kalau saja ia tidak ingat kalau saat ini mereka hampir melewati ruang guru. “Gue?? Pacaran ama Rico?! Dapet kabar darimana sih??!”
“Hanya analisis semata.” jawab Ao datar. Lova mengerutkan dahinya, “Maksud lo?”
“Kupikir Lofa-san itu gurifurendo  Rico. Karena saat ini Rico sedang menatap kita di pintu kelas dengan tatapan seorang boifurendo  yang sakit hati –dan sepertinya tatapan membunuh- karena telah menangkap basah gurifurendo-nya sedang selingkuh dengan seorang cowok di depan matanya sendiri.”
Lova terdiam, lalu ia menoleh ke arah pintu kelas yang tidak jauh dari mereka. Disana berdiri Rico, dengan wajah merah padam, menatap mereka dengan tatapan marah, kesal, jengkel, sakit hati bercampur jadi satu.
Ao melanjutkan lagi, “Karena aku yakin Rico itu masih normal, jadi tidak mungkin ia punya perasaan padaku, dan tidak ada orang lain disini selain kau, Lofa-san.”
Lova terdiam. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Yah, Lova memang tidak bisa mengelak kalau Rico naksir padanya. Ia juga sudah tahu hal itu. Bahkan seingatnya, Rico sudah me’nembak’nya 35 kali sejak SMP, dan 35 kali juga Lova menolaknya dengan tegas. Banyak yang tercengang saat kabar bahwa Lova menolak Rico menyebar seantero sekolah. Bahkan Nana, Uni, dan Aini mencecarnya dengan barbagai pertanyaan.
“Gue nggak suka sama dia.” Hanya ini alasan yang selalu Lova katakan.
Ia sendiri heran, kenapa dia nggak suka sama Rico yang notabene ‘sempurna’ itu? Yah, kecuali sifatnya yang suka menindas orang. Rico itu udah cakep, tinggi, putih, pinter olahraga, romantis abis, dan kaya pula! Secara tiap minggu dia naik mobil ke sekolah, ganti-ganti merk. Dan semuanya merk terkenal. Udah jelas dong, banyak cewek yang pengen jadi pacarnya Rico. Yah, walau menurut Lova, mereka lebih tertarik pada kekayaan Rico, yang harus ia akui melebihi dirinya. Secara Rico itu putra seorang pengusaha Internasional yang sukses.
Tapi Lova sama sekali tidak tertarik. Bahkan pada kekayaannya sekalipun?
Tidak. Terima kasih.
“Pergilah duluan,” suara Ao membuyarkan lamunan Lova. Ia menoleh ke cowok itu. “Eh?”
“Datangi dia. Jauhkan dia dari pintu. Maksudku, bawa dia pergi dari jarak pandangku. Setiap kali melihatnya, entah kenapa tanganku gatal ingin melakukan hal yang lebih buruk padanya daripada hari pertama aku di sini.” kata Ao sambil tetap berjalan.
Lova terkesiap. “Maksudnya, lo mau menghajar Rico?!”
Wajahnya tetap datar. “Aku tidak bilang ‘ingin menghajarnya’, aku hanya bilang ingin melakukan ‘hal yang lebih buruk’.” Lova menatapnya bingung.
“Wajah memelas dan tidak berdayanya itu benar-benar tontonan yang cukup menarik, kau tahu.” suaranya sangat datar.
Mengerti maksud perkataan Ao, Lova segera menyerahkan berkas yang dibawanya pada Ao, dan bergegas mendatangi Rico. Dari ekspresinya, Lova tahu Rico terkejut saat ia mendatanginya.
“Hai Rico!” Lova tersenyum manis.
Rico tercengang sesaat, lalu menjawab dengan sedikit tergagap, “Eh... h-hai juga Lova...” ia nyengir salah tingkah.
Lova bingung mau ngomong apa. Lalu sebuah ide terlintas di pikirannya. “Ric, lo bisa bantuin gue ngerjain PR fisika ga? Gue ada beberapa soal yang belum nih...” sedikit nada turun, dan ekspresi sedih, dan Rico pun tertipu. Bahkan sepertinya ia melupakan kekesalannya beberapa saat yang lalu.
“Be... beneran nih...?” kata Rico ragu.
Lova mengangguk cepat, “Iya... ayo!” Lova masuk ke kelas dengan sedikit menarik tangan Rico. Oh... itu sungguh momen yang luar biasa membahagiakan bagi Rico. Karena hampir tidak pernah, benar-benar hampir  tidak pernah Lova tersenyum manis dan menyapanya. Biasanya kan dia duluan.... (Author: Haaah~ daku ini memang baik ya... jarang-jarang gue baik ama elo... –ditendang- )
Ao yang melihat kejadian beberapa meter di depannya itu hanya mendengus.
Anak itu unik, kan?”
Suara itu berasal dari atas pohon di dekat jendela. (ruang kelas dengan koridor tertutup, kayak di Jepang. So... you know what I mean, don’t you?)
Ao berhenti berjalan. Ia berada tepat di samping jendela itu. Masih dengan ekspresi datar, ia menjawab pertanyaan si pemilik suara.
“Ya. Unik. Sangat menakjubkan mengetahui bahwa ‘itu’ belum terlepas.”
“Lalu, kenapa tidak dilepas?”
“Aku tidak mau repot-repot melakukannya. Toh ‘itu’ akan terlepas dengan sendirinya, kalau dia sudah menyadari keberadaan ‘itu’.” Ao masih menatap lurus ke depan dengan pandangan menerawang.
Si pemilik suara terkekeh pelan. “Masih acuh seperti biasanya. Yah, sifat seseorang memang tidak bisa berubah dalam sekejap.”
“Berhentilah mengoceh tidak jelas, Ruby.” suara Ao terdengar bosan. “Pesan apa yang kau bawa?”
“Hah, kau memang membosankan ya. Kurasa, ini bukan pesan yang menyenangkan bagimu. Yah, walau bagiku, sangat.” kata Ruby.
Ao menghela napas lelah. “Cepatlah.”
“Ada tanda-tanda ‘mereka’ berada di sini. Belum pasti, tapi ia merasakannya. Walau samar, tapi terasa. Sepertinya ‘mereka’ tidak berhasil menutup Porta Illusia dengan baik.”
Ao membeku. Ternyata perasaan aneh beberapa waktu lalu gara-gara ini. Ini bukan lagi ‘pesan tidak menyenangkan’, tapi ini adalah ‘kabar buruk’. Ao mengambil sesuatu dari saku celananya. Sesuatu berbungkus alumunium, berbentuk kotak, kecil, dan agak pipih. Ia melemparkannya dari jendela ke atas pohon, menuju Ruby.
Srash...
Begitu mendengar suara angin bergesek pelan, Ao berkata dengan nada perintah.
“Sampaikan pesanku padanya: Jangan melakukan tindakan apapun. Jangan sampai melakukan kesalahan sehingga ‘mereka’ mengetahui keberadaan kita. Dan kali ini, turuti kata-kataku.” Ao terdiam sesaat, lalu melanjutkan, “Ruby, aku ingin kau mengawasinya. Jangan sampai dia bertindak gegabah. Dan laporkan padaku bila ia melakukan sesuatu diluar ‘batas’nya.” Ao melirik ke arah pohon, “Sekarang, pergilah.”
Ao bisa melihat Ruby; gagak hitam sebesar elang dan mempunyai mata semerah ruby, membungkukkan badannya, seperti ingin mematuk benda pemberian Ao yang berada di kakinya.
“Yes, My Lord.” dan Ruby melesat terbang ke angkasa.

TbT