~* Black Winged Angel *~

Vali dan Narvi

About Me

Foto saya
Seorang cewek yang baru menyadari kalo dirinya adalah seorang Fujoshi tingkat medium,Pecinta doujin Shonen ai & Yaoi (dengan beberapa pengecualian) tapi hanya yang gambarnya bikin...aw~, punya impian memiliki serigala, punya sayap(hiks!),mengendalikan api(HUAA!!pengen BGT!!). Saat ini sedang mencoba membaca doujin Final Fantasy 7...tapi masih menolak versi Hardcore or Lemon. Cih, gara-gara seorang doujinka dengan pen-name KIKI (sialan!) yang telah menularkan dengan gambar Cloudnya yang... ugh, mimisan gue... *nyari tisu*
Jumat, 20 November 2009

Aishiteru, Ao-kun! Part 8

“…Shortcake, Mille Feuille, Mint tea, Honey lemon tea, Fruits Cocktail, Tiramisu, Cappucino mint, Apple Pie, Lair Cheese Cake, Roll Cake, Mont Blanc, Madeleine, Gateau Chocolate, Honey Muffin… Café Au Lait… Opera Choco… Blueberry shortcake… lalu sentuhan terakhir… Blackforest…!” senandung An girang. Ia sedang menyiapkan ‘cemilan sore’nya di meja makan. Sebenarnya hanya seperempat-nya yang ditulis, kalo semuanya, bisa-bisa yang baca muntah. Semuanya kue euy! Prinsip An: “kalau makan makanan manis, hati jadi senang…!” (tapi ‘makanan manis’nya itu, gila-gilaan!).
“Minuman penutupnya mau apa?” tanya Wizard. Ia yang selalu membuatkan cemilan di rumah. Bersama Dita yang selalu membantunya.
“Engg… apa ya…? …. Ah, Moccacino shake dan Gin…!” pinta An.
“Hei, kau bisa mabuk kalau minum Gin. Tidak boleh!” seru Haruka dari sofa di ruang tamu (Gile, ruang makan kan ada di tengah rumah, ruang tamu di dekat pintu depan. Telinga singa bo..!).
“Uu~h! Ya sudah, sake Matatabi saja…!” sungut An.
“Baik An-sama.” jawab Wizard. Ia bergegas ke dapur bersama Dita.
“AN!! SUDAH BERULANG KALI KUBILANG?! KAU TIDAK BOLEH MINUM SAKE!” teriak Haruka dari ruang tamu. Dalam 2 detik, dia sudah berdiri di ambang pintu dengan wajah malaikatnya yang dingin (ceile!).
“Aku tak akan mabuk kok…!” erang An. Suaranya yang seperti lonceng, berharmonisasi dengan suara Haruka yang bagai kicauan burung Quetzal (halah! Waktu mau disembelih kali! :-P).
“Apa kau lupa?! Kau hampir membuat ruang tamu hancur 2 minggu yang lalu! Dan itu cuma dengan secangkir sake yang entah dari mana kau dapatkan!” suaranya hampir menggeram.
An memutar bola matanya. “Jangan, berlebihan. Aku hanya merusak dinding dan sofa.” katanya datar. An menatap Haruka dengan wajah polosnya. Tatapannya menusuk Haruka langsung ke manik-manik matanya.
Haruka balas menatapnya. Tatapannya tajam dan dingin. Mereka berdebat dalam diam, membuat atmosfer di sekeliling mereka hitam pekat (halah!). Dita dan Wizard masih lalu lalang di sekitar mereka untuk menyiapkan cemilan dan makan malam. Tampaknya tidak terganggu dengan adegan yang terasa menusuk-nusuk itu. Udah sering sih.
“Tidak.” kata itu keluar dari sela-sela gigi Haruka yang terkatup rapat.
“Ayolah… sekali ini saja. Aku janji tidak akan mabuk.” suara An penuh permohonan. Wajahnya langsung berubah. Wajah bulat kekanakannya mirip sekali dengan anjing yang ditinggal majikannya.
Haruka langsung memalingkan muka, sebelum pertahanan yang sudah dibuatnya runtuh seketika. Tapi ia sudah terlanjur melihatnya. Mata An yang bulat membesar saat menatapnya. Cepat-cepat ia memalingkan muka.
“Ya?” harap An.
Ugh, dia sangat membenci saat-saat seperti ini. Dimana An senang sekali memanfaatkan kelemahannya yang satu ini. Tapi sudah terlambat sekarang.
Haruka menghela nafas. “Baiklah, hanya kali ini saja.” suaranya hampir mirip erangan.
“Yeeei…!” An melonjak-lonjak kegirangan. “Kau memang Haruka-ku tersayang…!” lanjutnya sambil memeluk Haruka.
”Ya, ya.” ditepuk-tepuknya kepala An. “Sekarang, bagaimana caramu bisa pergi ke sana tanpa ketahuan oleh Ao?” tanya Haruka.
“Haaahh… itu lagi… tenang saja, itu gampang. Kau seperti tidak percaya padaku ya?” kata An. Ia menghempaskan tubuhnya di kursi meja makan. Bersiap makan cemilannya.
“Tidak juga. Hanya saja…” Haruka tidak melanjutkan perkataannya. Mata warna burgundy-nya menerawang.
“Karena disana tanda-tanda terakhir munculnya Porta Ilusia?”
Mereka menoleh ke pintu, arah datangnya suara itu. Disana berdiri seorang anak laki-laki dengan tinggi beberapa senti lebih pendek dari Haruka, itu Dark.
“Ya…. Tapi sangat samar… bisa saja Ao sendiri yang membukanya. Tapi, itu pun tidak mungkin.” jawab Haruka.
“I…dak…. Ihu hasti… hasukan Odin…!”(terjemahan: “Tidak… Itu pasti… pasukan Odin…!”) kata An dengan mulut penuh makanan. Setelah menelan makanannya, ia berkata, “Ao tidak mungkin berpindah dimensi, karena aku pasti langsung merasakannya. Lagipula, Ao tidak akan meninggalkan jejak sekecil pun.”
“Ee…hh?!” pekik Wizard dan Dita di pintu dapur. “Bagaimana bisa?! Padahal tidak ada jalan masuk, sudah kita segel kan?” tanya Wizard. Mata hijau topaz-nya membesar.
“Haaah…. Kalau cuma segel kekuatan, tetap saja…” kata Dark.
“Heh, kalau kau kira itu tak cukup, sana! Bikin segel baru!” gertak An. Dark hanya memeletkan lidahnya, “Tidak maauu…!” lanjutnya. Lalu langsung kabur sebelum kena lemparan meja makan.

***

“Grrrrr…. Dasar stupid brengsek…! Boncel sialan…! Dasar kacang…!!” geram Bobi. Ia lalu menenggak Vodka-nya. Sekarang ini ia and the gank berada di sebuah klub malam terkemuka di Jakarta. Teman-temannya sekarang sedang berjoget-joget ria di panggung. (Yaks!)
Bobi hanya ditemani salah satu temannya (yang menjurus ke arah sahabat), Verig. Ia adalah anak blasteran Belanda-Jepang-Sunda. Dengan wajah yang tampan (udah kulitnya putih mulus… rahangnya tegas… matanya indah… dengan bola mata berwarna biru tua, ada campuran hitam, trus klo kena cahaya warnanya jadi biru tua keperakan… keren deh! bulu matanya lentik-lentik gimanaa…gitu. Trus, rupanya itu lho… benar-benar handsome deh!), tubuh tegap, tinggi 187cm, tubuh yang kokoh (atletis gitu), de el el. Yah, Bobi aja kalah lah. Untungnya ia nggak iri dengan temannya yang satu ini.
“Tenanglah, man. Ngapain sih lo marah-marah? Kita ke sini kan buat senang-senang. Jangan lo rusak dong.” kata Verig.
“Gimana nggak kesel Rig, tu anak baru belagu banget! Baru 2 minggu aja udah keganjenan…! Gue heran, cewek-cewek itu ngeliat apa sih dari dia, sampe-sampe ngejar-ngejar dia banget?!” adu Bobi. Dia kembali menenggak minumannya. Verig terkekeh.
“Maksudmu… Ao? Paling lo cuma iri ma dia. Secara anak baru tapi bisa menggaet cewek-cewek se-sekolahan.” Verig tertawa. Bobi makin cemberut.
“Itu juga termasuk sih. Tapi, dia itu bikin Lova keganjenan ma dia! Haaah!!! Bastard!!”
Verig melirik iseng ke Bobi. “Oooh…. Jadi gitu ya… Karna putri Lova tercinta…~” Verig mulai bernyanyi.
“Shut up Verig! Gue lagi nggak bercanda…!” teriak Bobi untuk mengalahkan suara musik. Mukanya semerah tomat. Untung disitu ada efek-efek cahaya, jadi nggak ada yang tau warna itu berasal dari mukanya Bobi.
“Alaah, gue udah tahu… duluu… banget! Gue ini udah jadi temen lo dari kelas 1, lo nggak bisa bohongin gue deh….”
“Lo diem aja deh Verig! Mau gue timpuk pake botol hah?!” ancam Bobi. Verig hanya nyengir.
“Iya deh iya… gitu aja kok ngambek. Hehehe….” Verig terkekeh. “Yah, lo ngajak gue ketemuan disini cuma mo ngomongin itu doang nih ceritanya?” lanjutnya.
“Nggak juga. Gue kesini mau minta tolong nih ke elo. Lo tolong bantu gue ngasih pelajaran sama si Ao itu. Gue pengen bikin dia marah, tapi nggak bisa berbuat apa-apa. Sama kaya gue dulu.”
“Waah… itu rada susah Bob. Soalnya dari pengalaman lo itu, dia nggak bisa dikalahkan dengan cara main keroyokan. Bisa-bisa pengeroyoknya yang babak belur. Apalagi berdasarkan cerita temen-temen, dia itu nggak banyak omong. Jadi kalo dideketin, susah banget.” Jelas Verig. Bobi hanya diam. Verig pun terdiam.
“… Bobi…??” panggilnya.
“…”
“Woi man, lo nggak pingsan kan?” Verig pelan-pelan mendekati Bobi. Bobi menoleh, lalu tersenyum. Hanya senyuman biasa, tapi itu sudah cukup membuat Verig merinding.
“Ng... Bob...??” pelan-pelan Verig menyingkir dari samping Bobi.
“Nyaaaaaaa...????” jawab Bobi sambil mendekati Verig. Dengan senyum “berbahaya” tersungging di bibirnya.
Glek, senyum ini... tingkah ini.... Wah, ni anak kayaknya udah mabuk nih... bahaya..!!, pikir Verig.
“Bob... kita pulang aja ya... kayaknya lo udah ga kuat lagi di sini..” bujuk Verig. Verig pun menarik lengan Bobi menuju pintu keluar.
Mau tahu kenapa Bobi jadi “aneh” gitu?? Hehehe. Sebenarnya sih, sederhana. Bobi mabuk, itu doank. Tapi...!! Klo udah mabuk, Bobi bisa jadi anak “kecil berbahaya”. Dalam berbagai arti. Huahahaha.

***

Hari ini kelas 2 IPA 2 mendapatkan ‘hadiah’ ulangan pagi mendadak dari Pak Joko, guru kimia. Bapaknya sih senang-senang saja, tapi muridnya pada serek-serek semua. Untungnya soalnya gampang-gampang semua, banget malah. Tapi entah kenapa, dalam 5 menit kemudian, para siswa sudah terkapar tak bernyawa (baca: sudah menyerah tak berdaya). Ya iyalah, soalnya sih gampang banget, jawabannya itu lho!
Sudah begitu, bapaknya dengan teganya tertawa di atas penderitaan mereka saat melihat para muridnya yang sudah pada tengkurap tak bernyawa di meja. Bahkan, dengan sangat kejamnya, Pak Joko menyuruh para siswa mengumpulkan lembar jawaban mereka dengan alasan waktunya sudah habis. Para murid hanya bisa pasrah. Untungnya bel istirahat sudah berbunyi, kalau tidak, mereka bisa mendapat bonus ceramah dari Pak Joko.
“Gila… Pak Joko kejam banget sih ngasih soal…! Kalo tahu gini, mending tadi gue ijin sakit aja!” kata Lova jengkel. Dia sudah sangat pasrah saat mengerjakan ulangan tadi. Mau nyontek, tatapan bapaknya benar-benar menusuk. Alhasil, dia hanya berdoa dengan sangat agar hasil ulangannya nggak jeblok-jeblok amat. Dapat 5 aja sangat bersyukur, asal jangan berada dibawah garis kemiskinan.
“Gue mah, nggak bakalan masuk hari ini. Gue nggak yakin di kelas kita bakal ada yang nilai ulangannya diatas garis kemiskinan…” timpal Nana (catatan: geng tercentil di sekolah, LUNA, singkatan dari nama Lova, Uni, Nana, dan Aini. Lova-Nana di kelas IPA 2, Uni-Aini IPA 3).
“Kami sih udah kemarin ulangannya, jam terakhir pula! Gimana mau mikir tuh, bawaannya aja sudah pengen pulang.” sahut Uni, disambut anggukan Aini.
“Aduuh… cukup deh hari ini ngomongin ulangannya, gue kan pengen rileks dulu nih. Oh ya, ngomong-ngomong nih, gimana dengan PDKT lo sama si ‘anak baru’ itu?” tanya Nana kepada Lova. Yang ditanya cuma tersipu malu. Malu-malu kucing!
“Maksud lo… si Ao itu ya?” sela Aini.
“Yaiyalah! Emang siapa lagi? Sekarang kan Lova lagi ngincer tuh anak. Gila, cakep banget bo! Rambutnya panjang sih, mukanya jadi kelihatan chubby gitu.”
“Oh, anak pindahan dari Jepang itu kan? Emang sih, Erwin aja kalah cakep ama dia. Mukanya itu lho! Imut bangeet!! Trus gayanya itu kereen banget! Trus trus, tatapan matanya itu… Cool bangeets!!” kata Uni dengan mata berbinar-binar.
“Eits…! Gue lagi PDKT ama dia nih! Jangan diambil! Awas nanti lho…!” sela Lova sewot.
“Udah, maklumin aja…. Uni kan emang gitu, nggak bisa lihat barang bagus langsung gitu deh…” lerai Aini. “Tapi kayaknya saingan lo banyak deh. Anak kelas 1 aja udah berapa orang tuh yang langsung jatuh hati waktu ngeliat Ao? Apalagi kakak kelas, bahkan mungkin mahasiswi?!”
“Iya juga ya… apalagi ‘papan iklan berjalan’ itu udah bawa dia keliling sampe ke kampus-kampus. Bisa gawat tuh Lov, ntar keduluan yang lain gimana?” kata Nana memanas-manasi.
“Bener, sehari sejak dia pindah, fansnya bejibun! Tiap hari gue lihat di lokernya banyak banget surat. Yang pasti surat cinta kan itu? Banyak banget gila! Tiap hari dia udah hampir ketimbun surat-surat itu kalo Anton nggak nolongin. Eh, ngomong-ngomong, apa maksud lo ‘papan iklan berjalan’?”
“Ya si Anton lah! Dia kan yang duduk sama Ao. Apalagi gara-gara duduk sebangku, selalu kemana-mana bersama, jadi Anton ikutan susah juga tuh. Tiap hari dikejar-kejar fansnya Ao.”
“Eit… kok kayaknya lo peduli banget sama Anton nih…. Ada apa nih..?”
“Jatuh cintakah…? Atau… cinta???” tanya Uni jahil.
“Enak aja! Sembarangan!” hardik Nana.
Lova hanya diam. Bener juga kata Nana, gawat nih kalo keduluan orang.
“Eh iya, lo tahu kan kalo tiap hari pasti ada aja keributan gara-gara para fans Ao itu? Tapi kok mulai kemarin gue nggak dengar keributan kaya gitu lagi? Lo-lo pada tahu nggak?” tanya Lova tiba-tiba.
“Oh itu. Lo nggak tahu ya? Kan kemarin mereka mendaftarkan diri dalam fansclub-nya Ao. Kalo nggak salah namanya…. Ao’vers. Nggak ada guru yang tahu lho, bahkan Ao-nya sendiri juga.”
“Katanya, peraturan di sana itu.pertama, nggak boleh berbicara sama Ao sendirian, minimal berdua. Kedua, jangan pernah membuat susah Ao dalam hal apapun, sebisa mungkin bantuin dia gitu. Ketiga, jangan pernah ada yang pacaran sama Ao!”
“Hah?! Kok gitu?! Gue PDKT ma dia kan tujuannya itu! Gimana sih?!” sentak Lova kaget.
“Ya mana gue tahu? Kok malah sewotnya ke gue?” kata Uni sewot.
“Mungkin maksudnya, supaya suka dan dukanya sama-sama…! Jadi jangan sampai membuat iri yang lain gitu.” sahut Aini.
“Ya syukur-syukur aja kita nggak masuk fansclub gitu, yang ada malah kita punya fansclub kan? Hehehe…” Nana terkekeh sambil nyengir kuda.
Pembicaraan mereka terus berlanjut hingga bel masuk berbunyi.

***

Pulang sekolah, Anton dan Rena pergi berkunjung ke rumah Ao. Mereka akan mengerjakan tugas kelompok dirumah Ao. Sebenarnya sih, kelompoknya harus ada 4 orang, tapi mereka hanya bertiga (haha, cuma sisaan sih!). tapi dengan itu mereka bersyukur karena nggak ada pengganggu (maksudnya para fans Ao). Tapi saat ini, mereka sedang menunggu Ao yang sedang dipanggil adik kelas (lagi) di kantin. Sekalian makan gitu.
“Lama banget si Ao! Dari tadi ditungguin belum kelar-kelar juga?” sewot Rena.
“Lo udah bilang itu dari 20 panggilan lainnya kan? Udahlah, biasanya kan juga lama Ren. Kita tunggu aja, paling bentar lagi balik.” kata Anton menenangkannya. Dan memang, beberapa saat kemudian Ao datang mendekati meja tempat mereka duduk.
“Gimana? Ditolak? Terima? Nangis nggak? Lo ngomong apa?” tanya Rena beruntun.
“Hei, nanyanya satu-satu Ren.” sela Anton pelan.
“ Seperti biasa.” jawab Ao pendek.
“Lo tolak?! Yakin lo? Gue liat sekilas, cantik gitu, kenapa ditolak?!” Rena kaget. Gila aja, yang ‘nembak’ Ao cewek geulis euy!
“Ssstt…! Pelan-pelan dodol!” Anton mendelik ke arah Rena lalu melirik sekelilingnya. “Iya iya, sori…” sahut Rena. Di sekeliling mereka ada beberapa anak yang memasang kuping untuk mendengar omongan mereka.
Anton mencondongkan badannya ke meja, “Tapi kenapa?” bisiknya lirih. Hanya Rena dan Ao yang bisa mendengar kata-kata Anton.
“Tidak apa-apa. Aku hanya tidak suka keterikatan seperti itu.” jawab Ao.
“Haah???”
“Maksudnya??”
“Alone of think.” jawabnya singkat. Ao melihat jamnya sebentar. “Ayo cepat, aku tak mau buang-buang waktu.” lanjutnya. Mereka berjalan ke parkiran tempat mobil Anton di parkir.

***

2
Hokkaido, Jepang.
“An, sudah, berhenti! Jangan makan lagi. Kau jangan terlalu banyak makan! ” protes Haruka. Di depannya, An, sedang melahap chocolate cheese cake keempatnya. Ia menatap Haruka sebentar, lalu melanjutkan makannya lagi. (untuk memudahkan para pembaca, dialog di Hokkaido ini adalah terjemahan. Yah, untuk memudahkan penulis juga sih )
Dengan jengkel Haruka mengambil potongan cake yang ada di tangan An. “Hei, kau ini kenapa sih?! Aku kan lapar! Kembalikan!” kata An seraya mengambil kembali cake-nya. Haruka hanya menghela nafas.
“Ini sudah cake keempat! Kau belum kenyang juga?”
An menggeleng. “Cake di sini enak. Aku jadi tambah lapar.”
“Memangnya kau bisa merasakannya? Kau kan buta rasa,” kata Haruka sinis. An tidak menghiraukannya (dikacangiin kali…!).
“Berhenti sekarang atau kutinggal kau di sini! Kita kesini bukan untuk makan kan?”
“Ah, ya. Aku hampir lupa. Kalau begitu tunggu aku menghabiskan yang ini, lalu kita pergi.” jawab An sambil langsung melahap cake-nya. Setelah itu, mereka langsung pergi ke sebuah rumah besar yang tidak terlalu jauh dari café cake tadi.
Di ruang tamu rumah itu, sudah menunggu mereka seorang pria berambut coklat. Dia duduk dikursi sambil membaca suatu kertas. An dan Haruka duduk di depannya.
“Lama sekali,” gumam pria itu. “Maaf, tadi aku makan dulu.” sahut An.
Pria itu menghela nafas. “Ya ya, aku mengerti. Aku tahu kau keberatan dengan hal yang ingin kudiskusikan ini. Tapi kau tak usah sengaja berlama-lama di suatu tempat hanya karena tak ingin ke sini.” An menatapnya lurus, tanpa ekspresi.
“Kalau sudah tahu, kenapa masih memanggilku, Gunji?” tanya An datar.
“Sebenarnya aku juga keberatan dengan perintah ini, tapi perintah ini langsung dari ketua, kita tak bisa membantah. Lagipula, hanya kau yang ada di unitku. Ao sedang pergi cuti panjang, dan melaksanakan 1 misi lain.” Gunji menyeruput teh dimeja.
“Kenapa bukan yang lain? Nanaki mungkin? Dia kan Patner Ao di sini. Lagipula dia lumayan kuat. Helling-nya level 3, mungkin akan terus meningkat. Dia juga tipe Heaven kan? Kenapa tidak dia saja?”
“Aku juga sudah menyarankan itu. Tapi perintah pihak atas sudah tak bisa diganggu gugat lagi. Mereka sudah memilih yang cocok. Yaitu kau.”
Haruka menyela, “Kurasa misi kali ini berat. Mereka sampai berani menugaskan kalian untuk pergi jauh, bahkan tinggal di negeri orang. Padahal selama ini mereka sangat ‘menjaga’ kalian.” Haruka memberi tekanan pada kata ‘menjaga’.
“Mau muntah mendengarnya” sahut An dingin.
“Aku setuju dengannya. Bagaimana pun juga, kalian sangat berharga untuk dilepaskan begitu saja tanpa penjagaan. Lagipula hanya kau saja yang tersisa untuk tipe penyembuh sekaligus penghancur, walaupun ada Eri dan Miko, tapi mereka di bagian pengobatan, jadi tak mungkin diserahi tugas ini.” Haruka mengangguk mendengar perkataan Gunji.
“Dasar sampah-sampah menjijikkan. Kenapa tidak mereka saja yang pergi? Toh, walaupun sudah jadi ketua unit atau pimpinan Lock, mereka masih cukup kuat. Kenapa harus aku dan Ao?” gumam An jengkel.
“Seharusnya kau senang kan, bisa bertemu lagi dengan ‘kakak tersayang’mu itu?” kata seorang wanita yang datang dari pintu dalam. Rambut coklat tembaganya bergelombang-gelombang saat ia berjalan. Itu Eri.
“Memang sih, tapi kenapa harus tinggal di sana? Di sana itu penuh polusi, macet, tempat kumuh, makanannya tidak enak! Kotor!” seru An jengkel.
“Tapi di sana banyak penjahatnya lho…” tawar Eri sambil tersenyum. Ia yakin An akan tertarik untuk ke sana, ke Indonesia. An sangat, sangat tertarik hanya pada empat hal. Ayahnya, Ao, makanan, dan kejahatan. Tebakannya nyaris meleset, karena An masih merenung untuk memikirkan untung-rugi baginya.
Eri menggunakan kekuatan tidak biasanya-kekuatan supernatural khusus para anggota Lock- itu. Ia memasuki benak Gunji.
Bantu aku.
Kau yakin? tanya Gunji.
Apa aku terlihat seperti punya pilihan? Eri balik bertanya.
Baiklah, akan kucoba. Tapi kurasa dia akan tertarik ke sana, walau tanpa bantuanku. jawab Gunji
“Benar kata Eri. Kurasa kau cocok dalam misi ini. Kau bisa bersenang senang di sana tanpa pengawasan, kujamin hal itu. Di sana ada Ao. Kau pasti sangat bersenang-senang. Target kali ini lumayan sulit. Dia adalah seorang hacker. Pernah hampir tertangkap oleh tim elit yang dikirim CIA, tapi dia berhasil lolos dengan merobohkan 10 orang hanya dengan mengacungkan tangannya,” kata Gunji akhirnya.
“Karena itu mereka meminta kita mengatasi masalah ini kan?” sambung Haruka.
Gunji mengangguk,“Ya. Tapi tim elit kita juga belum berhasil menangkapnya. Jadi, ketua menugaskanmu untuk menangkapnya.”
“Tapi …”
“Tak ada kata keberatan. Kau tak boleh menolak,”
“Bagerou...” geram An.
“Kenapa tim elit tak bisa menangkapnya lagi? Seharusnya mereka sudah tahu orangnya kan?” tanya Haruka.
“Sebenarnya CIA tidak melacak dengan hal-hal fisik, tapi dengan rute-rute sistem hack-nya. Saat hacker itu menghack sebuah sistem di Pentagon, para operatornya segera melacak sistemnya. Setelah ketemu,mereka segera mengirim tim kesana, dan seperti yang kubilang tadi, pelaku berhasil lolos. Menurut laporan yang kuterima, kira-kira pelaku keturunan Belanda, karena aksen bahasanya sedikit Inggris.”
“Orang aneh,” sela An.
“Bukan aneh, tapi sangat aneh. Itu pendapat mereka. Karena pelaku bisa merobohkan tim khusus dengan pelatihan terkuat itu hanya dengan mengacungkan tangannya. Sangat mustahil itu terjadi, kecuali pelaku juga berhubungan dengan dunia kita. Saat penangkapan, pelaku menggunakan topi dan tudung jaket. Apalagi tempat penyergapannya remang-remang. Satu orang dari 10 korban yang dirobohkan melihat wajah pelaku, tapi sayangnya dia sudah tewas di kamar perawatannya pada malam ke-2 setelah penyergapan itu. Jadi sampai sekarang tak ada yang tahu siapa pelaku.” kata Eri.
“Ini adalah berkas-berkas yang berhubungan dengan pelaku. Di sini juga ada daftar situs-situs yang sudah di-hack olehnya.” sambung Gunji sambil menyerahkan berkas itu kepada An dan Haruka.
“Wow… operator Bank di Swiss juga sudah berhasil ditembus…” Haruka bergumam.
Setelah membaca beberapa lembar, senyum An tersungging. “Menarik,” seringainya.
“Oke, kuterima misi ini. Tapi dengan beberapa syarat…” An menyeringai nakal.
Haruka, Gunji, dan Eri saling berpandangan.

***

Pulang sekolah. Rumah Ao.
“Hikaru, tolong buatkan teh ya,” pinta Ao. Saat ini dia ada di ruang santai bersama Paul. Setelah makan malam mereka biasanya akan duduk-duduk di ruang santai. Bisa mengobrol, nonton tv, atau yang lain.
“Yoroshii,” sahut Hikaru. Ia segera ke dapur membuat teh.
“Bagaimana hari pertama di sekolah? Baik?” tanya Noin memulai pembicaraan.
“Tak baik dan tak buruk.” sahut Ao. “Hari ini aku lelah, setelah bermain kejar-kejaran dengan senpai.” lanjutnya.
“Nani ?! Naze ?!” Paul kaget.
“Aku tak tahu. Mungkin mereka selalu begitu pada orang yang baru mereka kenal.” jawab Ao sekenanya.
“Yah, tapi sekarang master..eh, kau sudah selamat dari kakak kelas yang aneh itu kan?”
“Mungkin,” sahutnya. Hikaru masuk sambil membawa nampan berisi teko dan cangkir teh.
“Ini tehnya, Ao-san.” kata Hikaru sambil menyerahkan secangkir teh. Hikaru juga memberikannya pada yang lain.
“Doumo.” sahut mereka hampir bersamaan. Saat itu telepon rumah berdering, Noin segera mengangkatnya.
“Halo, ada yang bisa dibantu? … ya, dengan siapa? …ah, baik, tunggu sebentar ya.” Noin berjalan mendekati Ao. “Ao-san, ada telepon,” katanya sambil menyerahkan gagang telepon pada Ao.
“Dare ?”
“Gunji-sama.”
Ao segera mengambil gagang telepon yang diserahkan Noin. “Ada apa? …. nanka? Bukannya aku sudah bilang, sebulan ini aku sedang off ? Tak ada orang lain? …. Tidak mau! Kau saja yang melakukannya! … apa? …. Haah, baiklah… tapi hanya kali ini saja…. Ya… aku mengerti.” Ao menutup telepon dengan muka kusut.
“Doushite ?” tanya Paul.
“Tugas. Lagi.”
Noin tersenyum geli. “Kalau cuma itu, Ao-san bisa kan? Kenapa kesal?”
“Ini adalah cuti panjangku, tak boleh dicampur adukkan dengan pekerjaan…!”
“Sudahlah Ao-san, tak usah dipikirkan. Tugasnya bisa diselesaikan dengan cepat kan? Lagipula, hanya 1 saja yang diterima Ao-san kan?” kata Hikaru.
“Kau tenang saja, aku tak mungkin memikirkan hal sepele seperti itu.” jawab Ao sambil berlalu. “Aku mau tidur. Oyasuminasai.” lanjutnya. Lalu ia berjalan naik ke lantai 2 kembali ke kamarnya untuk tidur.
Mimpi itu kembali.

***

Sudah seminggu ini Ao sering olahraga pagi. Yaeyalah, tiap hari lari mulu sih. Maklum, dikejar-kejar fans cewek. Dari SMU sampe anak kuliahan. Yah, resiko orang populer kan gitu. Tapi kok berlebihan banget sech?
Memang, Ao sering ‘olahraga pagi’ gara-gara dikejar-kejar anak cewek sesekolahan. Dari kelas tiga SMP, sampe anak kuliahan. Bahkan Anton dan Rena jadi ikut-ikutan ‘olahraga pagi’ juga. Yah, maklum, teman orang terkenal pastinya diuber-uber buat mengetahui info-info tentang tu orang.
Di dalam loker Ao sering ditemukan setumpuk surat dari para penggemarnya. Ao sering hampir tertimbun surat-surat bersampul nuansa cerah itu saat membuka loker saking banyaknya. Untung kedua temannya itu dengan setia dan senang hati membantunya. Yah, tapi capek juga kan? Saat Ao nggak masuk pun, mereka tetep diuber-uber juga. Tambah banyak malah, dikejar anak-anak cowok yang berang gara-gara gebetan or pacarnya jadi ikut ngejar-ngejar Ao. Untungnya, sampe sekarang mereka bertiga bisa lolos dari kejaran.
“Hah… hah… hah… hah…. Capek~! Mereka semua terbuat dari apa sih?! Masa’ lari sprint nggak capek-capek?!” gerutu Anton sambil ngos-ngosan saat mereka sedang lari menghindari kejaran fans Ao.
“Gila~! Capek banget…! Badan pegel, kaki lemes…. Lama-lama bisa copot juga nih kaki!”
“Kalian tidak apa-apa?” tanya Ao. Cuma dia yang masih segar bugar, padahal dia harus membantu teman-temannya bersembunyi.
“Heh, lo juga, terbuat dari apa hah?! Capek nih, capek! Sudah 2 jam kita lari-lari! 2 JAM!! Nggak pake istirahat lagi! Kita berdua capek banget, eh, elo kok santai-santai aja?!” seru Anton.
“Aku sudah terbiasa seperti ini,…”
“Eeh?!! Yang bener lo?! Jadi disekolah lo dulu juga begini?!” potong Anton dan Rena bersamaan.
“Aku belum selesai bicara…” kata Ao jengkel.
“Eh, sori, sori…”
“Aku sudah terbiasa seperti ini di rumah. Tousan sering memberiku latihan-latihan kecil yang mengharuskanku menghindar dari serangan.” Anton dan Rena hanya mengernyit.
“Maksud lo?”
Belum sempat Ao menjawabnya, eh, sudah ada suara-suara dari alam lain (baca: suara histeris para fans Ao). Jadi ya… begitulah. Nggak perlu dijelasin kalian pasti tau. Tapi untungnya para fans ‘sakit jiwa’ itu selalu kecele. Kalah gesit dari mereka bertiga. Mereka pun lolos dari pengejaran-pengejaran itu.

***

....
Oktober

November

Desember

Januari

4. TERBANGUN


Waktu berlalu. Bahkan saat rasanya mustahil, waktu tetap terus berjalan. Bahkan di saat setiap detik pergerakan jarum jam terasa menyakitkan, bagaikan denyut nadi dibalik luka memar. Waktu seakan berlalu di jalan yang tidak rata, bergejolak dan diseret-seret, namun terus berjalan. Bahkan bagiku.



(Waktu seperti cambuk panas yang dipukulkan oleh orang yang ku cintai, yang sedang berusaha membunuhku.)

Wuuaah...!!! akhirnyaaa... jadi juga..!! cerita karanganKyu~~! yaah, walau baru 4 part sec... udah lm ni gw pgen bkn cerita dgn karakter Kudou Ao ini... trus ntar ada adenya, namanya Kudou An. And, mereka KEMBAR...!! wehehehe...
Sebenarnya, karakter Ao dan An itu, terispirasi dr komik "Nanaki the Phsycic Power" dan "The Great Cases Yorozuya Toukaidou Honpou". Buat penciptanya, gw minta ijin nec,, minjem yaa nama-nama mereka.... hehehe... cuma namanya doank kok...!! (sifatnya, ya gw bikin sendiri).
Ohya!!! klo ada yang baca, karanganku itu "Aishiteru, Ao-kun!", tolong kasih comentar yaa!! buat koreksiku nanti...

sekian~~!

Mereka berkeliling sekolah sekitar setengah jam. Dimulai dari kantin, lalu ke ruang guru, ke ruang lab, kamar kecil, taman, ruang olahraga, dll, hingga akhirnya kembali ke kelas sambil lari. Mau tahu kenapa pake lari-lari?? Hmm?? Oh, oke, kita kembali ke cerita sewaktu mereka berkeliling.

Saat mereka sedang berada di lorong penghubung kantin dengan kelas anak 3, Rena merasa ada yang tidak beres. Ada dua keanehan disekitar mereka. Pertama, para anak cewek memperhatikan mereka lekat-lekat. Khususnya pada Ao. Rena tahu Ao memang berpenampilan agak aneh, anak cowok berambut panjang hitam legam sampai ke pinggang. Mimik wajah cowok innocent banget, tapi dengan rambut panjang lebih mirip cowok ‘cantik’. Dengan sifat dingin, cuek, jutek dan sejenisnya semakin terlihat. Dan Rena tahu itu yang memikat dari cowok yang satu ini, tapi ngeliatinnya nggak perlu segitunya kali!

Kedua, anak cowok di sekeliling mereka dikiiiitt banget! Yang ada paling anak-anak yang bawa buku tebel end berat seberat karung semua. Cewek-cewek yang ngeliatin mereka mulai mendekat. Rena menelan ludah.

Wah… firasat buruk nih…, pikir Rena sambil menyikut Anton. Anton menoleh dengan tatapan -ngapain-lo-nyikut-gue?-sakit-tau!-, kayaknya belum sadar juga.

“Apa ini cuma perasaan gue, atau di sekeliling kita emang cewek semua ya?” tanya Rena. Kedua cowok itu menatap ke sekitar mereka.

“Kayaknya emang bener cewek semua.” jawab Anton. “Kita ke kelas yuk, bentar lagi bel masuk,” lanjut Anton. Sepertinya sudah sadar akan keanehan yang ada.

Belum sempat mereka bertiga melangkah pergi, mereka sudah dicegat segerombolan cewek centil dengan rok miiniii… banget! Pasti kalo mereka membungkuk dikit aja, pasti kelihatan tuh celananya.

“Hai cowok…!” sapa seorang cewek. Ih, nadanya centil banget! Rena dan Anton aja sampe merinding lho! Lova end the gank aja kalah centil!

“Moshi-moshi, senpai.” balas Ao sambil sedikit membungkukkan badan. Hanya Ao yang merasa tidak terganggu. Mungkin.

“Boleh kenalan doong..! Siapa namanya? Anak kelas berapa?” kata teman yang satunya.

“Ao. Yang ini Anton dan Rena. Kelas 2.” jawab Ao. Cukup singkat.

“Ehm, maaf ya kakak-kakak, kenalan sampe di sini aja ya. Ntar kalo ada waktu bisa disambung. Kami permisi dulu. Mau ke kelas, sebentar lagi bel. Permisi,” kata Anton sambil menarik lengan kedua temannya. Dia merasa nggak nyaman banget dikerubutin oleh para ‘penyamun cowok’ itu.

Entah merasa nggak rela atau merasa belum puas dengan jawaban Ao, mereka menghalangi jalan di sekitar Ao dkk, itu resminya. Tidak resminya (kata lainnya) mengepung.

“Kok gityu siih..! Kan baru kenalan, masa langsung pergi…?” kata cewek yang paling centil di situ. Kali ini Rena bisa merasakan bulu kuduknya berdiri semua, Anton merasakan perutnya mulas, dan Ao sudah masuk dalam taraf terganggu.

Ao mendengus. “Gomennasai ne, senpai. Tapi kami sudah sangat terburu-buru. Mungkin lain kali kita mengobrol lagi. Some other time.” sahut Ao sambil berlalu. Rena dan Anton mengikuti dari belakang. Gerombolan cewek seperti terkena sihir apa, mereka hanya menurut aja. Tapi bisa aja kan? Ngeliat Ao aja kaya ngeliat dewa yang turun dari alamnya.

Yah, untuk yang ini mereka berhasil lolos. Tapi para ‘penyamun cowok’-nya bukan hanya yang ini, maasiiih banyak lagi. Ini bisa menjelaskan kenapa mereka kembali ke kelas sambil lari.

TbT