~* Black Winged Angel *~

Vali dan Narvi

About Me

Foto saya
Seorang cewek yang baru menyadari kalo dirinya adalah seorang Fujoshi tingkat medium,Pecinta doujin Shonen ai & Yaoi (dengan beberapa pengecualian) tapi hanya yang gambarnya bikin...aw~, punya impian memiliki serigala, punya sayap(hiks!),mengendalikan api(HUAA!!pengen BGT!!). Saat ini sedang mencoba membaca doujin Final Fantasy 7...tapi masih menolak versi Hardcore or Lemon. Cih, gara-gara seorang doujinka dengan pen-name KIKI (sialan!) yang telah menularkan dengan gambar Cloudnya yang... ugh, mimisan gue... *nyari tisu*
Senin, 17 Mei 2010

Dewasa = Bodoh!

Kayak ga ada kerjaan lain. Itulah gue bulan ini.
Sumpah, seandainya gue ga ingat dosa, udah gue maki-maki tuh orang! Kayak ga ada kerjaan lain selain nyusahin orang. Sedikit-sedikit manggil.

Sampai sekarang gue bingung. Kenapa sih opini manusia SELALU dibatasi oleh umur?? Yang muda HARUS selalu SOPAN kepada yang lebih tua. Yang tua HARUS dihormati, omongan harus dijaga, nggak boleh berkata kasar, bla bla bla....
JERK!! HOLY SHIT! CHICKEN BASTARD!

Memangnya orang dewasa tau apa?! Bukannya orang dewasa yang masih anak-anak?! Bukannya orang dewasa lah yang masih TERLALU muda?! Memangnya mereka kira mereka bisa mengatasi masalah?! BUKANNYA anak-anak lah yang sudah membantu mereka?!

Mereka belum tahu ATAU berpura-pura nggak tahu. KALAU MEREKA ITU SEBENARNYA PICIK!! BODOH!! EGOIS!!

Jarang sekali ada orang dewasa yang melihat suatu peristiwa dari berbagai sudut pandang. orang dewasa jaman sekarang hanya melihat dari sudut pandangnya saja. Jika ada opini orang lain yang berbeda, mereka selalu menyalahkan. MAU MENANG SENDIRI!!

Selasa, 04 Mei 2010

Aishiteru, Ao-kun! Part 11



Tok-tok-tok.
“Ya? Ada apa?” kali ini yang membuka pintu adalah Demetri.
Wizard sedang menopang tubuh Dita yang lunglai di bahunya. “Tolong! Anak ini butuh pertolongan sekarang! Please! Please help her!”
Demetri terdiam. Entah karena ingin sok cool, atau karena sedang memproses kata-kata yang diucapkan Wizard. Akhirnya setelah 3 detik yang amat panjang, Demetri bersuara.
“Ah, maaf. Tapi ini bukan rumah sakit. Rumah sakitnya ada di blok sebelah.” (Doeeng!!)
“Tapi sudah tidak sempat! Ia butuh pertolongan sekarang!” untuk meyakinkan, Dita tersungkur dalam pelukan Wizard (halah! It’s impossible!).
Demetri berpikir sebentar, “Baiklah, kuantarkan  ke rumah sakit saja.” katanya. Wizard melongo (makin ga mungkin). “Tapi ini sudah tidak sempat!” ia bersikeras.
Demetri menjawab dengan santai. “Well, kau akan terkejut dengan cara mengemudiku.” Dan akhirnya, mereka diantar Demetri ke Rumah Sakit. Setelah itu, ya Demetri balik lagi.
“We’s plan is fail.” kata Wizard pasrah.
“Yeah. Again.”
“So?”
“It’s the time to plan C.” jawab si Master.
“Roger.”

TbT

Tok-tok-tok.
Felix yang baru datang dari ruang bawah tanah menoleh. Demetri sudah berjalan ingin membuka pintu, tapi ditahan Felix.
“Biarkan saja. Paling orang iseng lagi.” katanya. Demetri kembali duduk menonton TV. Baru saja Felix ikut duduk, ketukan itu terdengar lagi. Mereka tidak menghiraukannya. Orang di luar tetap mengetuknya berkali-kali. Setelah lima kali mengetuk, orang itu sepertinya menyerah. Tapi hanya berselang 3 detik kemudian-
BRUUAAAKKK!!!
Pintunya terbanting dengan keras, lebih tepatnya terlempar  dengan keras. Pintu dengan cepat menghantam tembok beton, hingga hancur berantakan. Felix dan Demetri mematung. Orang yang membuat daun pintu terlepas, ternyata adalah Dita dan Wizard, melangkah masuk.
“Wah, maaf ya. Pintu kalian jadinya tidak ada penutupnya.” suara Dita terdengar ceria. Tidak ada rasa bersalahnya. Sama sekali. “Nanti akan kami perbaiki kok.” lanjut Wizard.
Yang pertama kali pulih adalah Demetri. Ia langsung bersikap defensif. “Siapa sebenarnya  kalian?”
Dita menjawab dengan senyum. “Hanya seorang gadis manis-“
“Dan seorang cowok keren.” sambung Wizard kalem.

TbT

“Mission complete. Tolong bawakan penjemputnya.” kata Wizard pada alat komunikasi sambil membolak-balik buku dari tumpukan di atas meja. Ia duduk bersandar pada kursi, sementara kakinya disilangkan dan dijejakkan dengan nyaman di atas tubuh seseorang yang tergeletak diam di lantai. Sedangkan Dita berada tidak jauh darinya, sedang ‘membereskan’ seorang laki-laki berkacamata dengan rambut gondrong tidak beraturan.
“Dita, jangan buat dia ’lewat’. Cukup buat pingsan saja. Dia yang kita butuhkan.” kata Wizard sambil matanya tetap terpaku pada buku di tangannya.
“Aku akan keluar menunggu kedatangan penjemput,” kata Dita setelah ia selesai mengikat laki-laki tadi yang wajahnya sekarang penuh luka memar dan lebam bersama Demetri dan Felix. Dita melenggang keluar dari ruang bawah tanah itu.  Sementara Wizard sudah berpindah ke salah satu komputer dari sekumpulan komputer yang hampir memenuhi setengah dari luas ruangan itu (dan setengahnya lagi dipenuhi oleh tubuh-tubuh yang tergeletak di lantai dan tak bergerak. Dan –ehm- bersimbah darah). Gerakan jari-jari tangan rampingnya yang lincah terlalu cepat, sehingga tidak bisa memastikan apa yang ia lakukan dengan komputer itu.
Dita dengan langkah santai berjalan ke ruang tamu dan duduk di sofa biru tua lusuh. Karena tidak ada kerjaan lain, ia menyalakan televisi. Berharap itu bisa membunuh waktu tunggunya. Tapi belum sampai semenit ia mematikan televisi, karena bosan. Dita menyenderkan kepalanya ke sofa. Ia menghela nafas panjang.
Membosankan, pikirnya.
Tanpa sengaja ia melihat siluet coklat dari sudut matanya. Ia menoleh. Ah, ternyata daun pintu yang hancur ditendangnya tadi. Cukup lama ia melihatnya, lalu mendadak muncul ide di kepalanya. Dita berjalan mendekati potongan-potongan papan coklat hancur yang tadinya adalah pintu itu. Ia memilah-milah potongan-potongan papan itu. Lalu ia membongkar ruang tamu itu. Mencari bahan-bahan yag diperlukannya.
Sekitar 20 menit kemudian, ia sudah menyelesaikan pekerjaannya membuat daun pintu baru. Yep, sekarang tinggal dipasang, pikirnya sambil tersenyum senang.
Dita baru saja selesai me-las kembali daun pintunya, ketika telinganya yang sensitif mendengar deru mesin mobil yang sangat dikenalnya. Ia berdiri di depan pintu dengan tangan memegang kenop pintu, sambil menghitung.

Tiga puluh tujuh...
Tiga puluh delapan...
Tiga puluh sembilan...
YAK!  Dita memutar kenop pintu dan keluar. Di halaman sudah ada mobil jenis Mercedes Guardian hitam legam sampai ke kaca serta velg-nya (yang mencolok hanya nomor polisi di depan dan belakang mobil karena berwarna perak) dan Porsche  warna hitam mengkilap dengan alur garis membentuk sayap berwarna merah seterang darah berhenti di depan rumah. Dari mobil Mercedes An keluar sambil menenteng handuk, dan Haruka keluar dari mobil Porsche 911 GT3.
“Ugh, aku benar-benar tidak tahan dengan bau jok kulit itu. Kenapa tidak kau ganti dengan kain saja, Haruka?” An manutup hidungnya dengan handuk kecil itu.
Haruka mengangkat alisnya. “Malas. Kenapa bukan kau saja yang menggantinya?” ia balik bertanya.
An memutar bola matanya. “Aku malas. Makanya aku memintamu yang melakukannya.” Haruka membuka mulut, hendak membalas perkataan An. Tapi akhirnya ia hanya membuang muka, merasa sia-sia jika harus bertengkar sekarang.
“Dimana para ularnya?” tanya Haruka. Mereka berdua sudah berada di dalam rumah. An menatap sekeliling ruang tamu itu.
“Tumben sekali tempat ini tidak rusak...” An bergumam pelan.
“Para ular ada di lubang tanah.” kata Dita menjawab pertanyaan Haruka. Mereka berjalan ke ruang makan. Dita berjalan menuju meja makan yang berada agak di tengah ruangan. Ia mendorong meja makan kayu itu 1 meter dari tempat semula.
Ternyata di balik meja itu ada sebuah pintu yang hampir tidak terlihat, karena tersamarkan dengan baik. Dita menarik kaitan kecil di salah satu sisi papan itu, hingga papan tadi lepas dan memperlihatkan tangga menurun di baliknya. Dita turun lebih dulu, diikuti An lalu Haruka. Mereka sampai di ruangan seperti bunker dengan dua pintu berbeda. Yang satu berwarna coklat tua, dan yang satu lagi dicat krem. Dita membuka pintu berwarna coklat, dan mereka langsung disambut oleh lorong gelap. Tidak perlu waktu lama hingga mereka tiba di ujung lorong. Disana sudah menunggu Wizard dengan senyum cerah tersungging diwajahnya.
“Tugas selesai dengan baik.”
An tersenyum senang. “Kau hebat, Wizard!” katanya sambil menepuk-nepuk bahu Wizard. Untuk itu pun An harus berjingkit, karena tubuhnya hanya setinggi dada Wizard. Benar-benar kecil-mungil (aka. pendek).
“Tapi ngomong-ngomong, sebaiknya bereskan sisa-sisa ini, Dita,” lanjut An. “Membuat penuh ruangan saja.”
“Baik.” sahut Dita.
“Nah,” An berjalan keluar. “Ayo kita pulang.”