~* Black Winged Angel *~

Vali dan Narvi

About Me

Foto saya
Seorang cewek yang baru menyadari kalo dirinya adalah seorang Fujoshi tingkat medium,Pecinta doujin Shonen ai & Yaoi (dengan beberapa pengecualian) tapi hanya yang gambarnya bikin...aw~, punya impian memiliki serigala, punya sayap(hiks!),mengendalikan api(HUAA!!pengen BGT!!). Saat ini sedang mencoba membaca doujin Final Fantasy 7...tapi masih menolak versi Hardcore or Lemon. Cih, gara-gara seorang doujinka dengan pen-name KIKI (sialan!) yang telah menularkan dengan gambar Cloudnya yang... ugh, mimisan gue... *nyari tisu*
Kamis, 17 Desember 2009

Aishiteru, Ao-kun! Part 10


Tok-tok-tok.
Seorang pria muda, mungkin usianya lebih tua beberapa tahun dari Wizard, membuka pintu.
“Ya?” tanya Felix (anggep aja namanya gitu, hehehe...gue kan penggemar Twilight Saga).
“Maaf, apakah ini rumah Mr. Edward Anthony Masen Cullen?” tanya Wizard.
“What? Mr. siapa?”
“Mr. Edward Anthony Masen Cullen.” Wizard mengulanginya  dengan amat-sangat-lembut.
“Maaf. Saya tak kenal. Kau salah alamat, ini bukan rumah Mr. Edward.”
“Lalu, rumah siapa?”
“Kurasa itu tidak ada urusannya denganmu.” jawab Felix datar.
Wizard menjawab dengan amat-sangat-meyakinkan. “Tentu ada. Saya curiga jangan-jangan ini benar rumah Mr. Edward yang saya cari.” Wizard bersikeras.
“Sudah kubilang, bukan. Pergi!” pintu ditutup dengan kasar. Dan akhirnya Wizard kembali ke tempat Dita menunggu.
“So, gimana hasilnya?” tanya Dita.
Dengan sedikit tatapan putus asa –yang pasti hanya dibuat-buat- menjawab, “As you can see. Diusir.”
“Hahahaha.... kasihan.” Dita terbahak.
“Oke. Your turn now.” kata Wizard dengan tatapan meremehkan.
“Ok. Look at me. And show time, must go on!” sahut Dita yakin sambil berjalan pergi.
***
Tok-tok-tok.
Felix membuka pintu lagi. “Hah?”
“Maaf, apa ini...”
“Rumah Mr. Edward Anthony Masen Cullen? Bukan. Sudah sana pergi.” Felix menutup pintu tapi ditahan Dita.
“Hei, tunggu. Bukan, bukan itu yang ingin saya tanyakan. Lagipula, siapa itu ‘Mr. Edward Anthony Masen Cullen’?” Dita balik bertanya.
“Sudahlah, lupakan. Lalu, ada perlu apa kau kemari?”
“Saya hanya ingin menanyakan, apakah ini rumah Mr. Jasper Wicthlock?”
“Aah! BUKAN!” Felix membanting pintu dengan kasar.
***
“Hahaha... kau bahkan lebih parah, mengikuti ideku.” Kata Wizard sambil tertawa geli. Dita cemberut.
 “Hei, dari awal aku sudah punya ide begitu kok.” bantahnya.
“ Ya ya.... So, Master, what will we do now?” tanya Wizard dari alat komunikasi.
“Yaah... terpaksa pakai plan B.” katanya.
“Ok.” jawab Dita dan Wizard.
***
 




Rabu, 16 Desember 2009

HUEEE~~~~!!! Hiks Hiks...!! ;-(

Huhuhuuhhhuuuu...........!!! hikz hikz.... Duuh.. Matematika gw gimane nec???!! OMG!! Hikz... gw belum ngerjain MTK dari no.24 sampe 30. ngasal semua. OH TTIIDAAKK!!!!! bagaimana ini??!! SIALAAAAANNN!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
DASAR WAKTU B******K!!! KASIH KOMPENSASI WAKTU KENAPA KEK..!! HUAAA!!!! B******K!!! BA****D!! HOLY S**T!! BA***OU!! K**O!!! A**U!!!! GYAAAAAA!!!!!!!!!!
*siapa yang bersedia gw cincang??*

Rabu, 09 Desember 2009

Aishiteru, Ao-kun! Part 9

***
Terdengar alunan biola yang menyayat hati di rumah -lebih tepatnya puri- besar itu. An sedang memainkan lagu-lagu klasik di ruangan khusus tempatnya. Ya, setiap bulan purnama –dan saat itu memang sedang bulan purnama- ia akan memainkan permainan musik indah. Entah itu biola, piano, harpa, ataupun samisen. Lagu yang dimainkan pun, hanya dia yang tahu. Karena, alunan nada-nadanya bukan alunan nada para pianis terkenal.
“An, sampai kapan kau mau memainkan itu? Ini sudah waktunya tidur.” suara Haruka membuyarkan tangga nada yang sedang dimainkan An. Haruka berjalan mendekati An yang berdiri di depan jendela besar tanpa kaca yang menyajikan pemandangan indah, bulan purnama besar yang sendirian di langit, sedangkan cahaya keperakannya memantul menerangi lembah, rumah-rumah, pepohonan dan hutan di bawahnya. Haruka mengambil biola yang sedari tadi bertengger di pundak An.
“Haruka,”
“Ya?”
“Maukah kau memainkan satu lagu untukku?”
Haruka terdiam. Ia menatap An. Tatapan An yang menerawang membuat Haruka akhirnya memainkan biola yang dipegangnya.
Dan alunan tangga nada baru pun mengalun lembut. Memenuhi ruangan itu. Memenuhi rumah besar itu. Memenuhi lembah itu. Memenuhi langit itu.
Wizard yang sedang membereskan ruangan terdiam. Dita yang sedang membaca buku di tempat tidurnya terdiam. Dark yang sedang tidur-tiduran di atap terdiam. Alto, serigala putih kesayangan An yang sedang sibuk menjilati kuku-kukunya berhenti, dan terdiam. Ya, mereka semua terdiam karena mendengarkan musik yang mengalun lembut, tapi sendu, yang memenuhi udara malam itu. Mereka semua menghentikan pekerjaan mereka, lalu menengadahkan kepala, melihat langit. Lalu memejamkan mata. Dan seperti menyambut musik itu, alam pun ikut mengiringi dengan caranya sendiri.
Angin berembus pelan, membuat daun-daun bergemerisik pelan. Suara burung hantu yang sesekali terdengar, ditimpali oleh suara jangkrik yang semarak. Dan setelah itu, Alto ikut mengaum. Suara Alto yang sedikit berbeda dari serigala lain, membuat harmonisasi yang indah sekali. Malam itu benar-benar indah. (Author: Huuee..~~ gw mau liat~~!! >.<) An merebahkan kepalanya di meja yang berada di samping Haruka berdiri, lalu memejamkan mata. Beberapa saat, An mulai melantunkan sebuah syair dengan suara lirih. Oo Aquilo, addo mihi sadus uranicus creatura per rutilus astrum in suus frans Wahai angin utara, antarkan kepadaku satu-satunya makhluk terindah pemilik bintang emas satu-satunya. An terus melantunkan syair itu dengan berbagai nada, mengiringi permainan biola Haruka. Sampai musiknya selesai pun, An tetap bersenandung lirih. An bisa merasakan Haruka yang duduk di sampingnya, dan tangannya yang mengusap lembut kepala An. “Naze?” kata Haruka pelan. An tidak menjawab. Ia malah melingkarkan kedua tangannya di punggung Haruka. Sebelum Haruka sempat membuka mulut An sudah melontarkan kata “Dingin” dengan suara lirih. Haruka menghela napas. “Bohong. Kau itu api, tidak mungkin kedinginan. Sebenarnya ada apa, An?” kata Haruka. Cukup lama An terdiam. Ia hanya mempererat dekapannya. Lalu, “Aku rindu Ayah.” Tiga kata itu keluar dari mulut An. Ya, hanya 3 kata. Tapi itu sudah cukup membuat Haruka mematung. “Kapan kita bisa ke tempat Ayah?” tanya An. Ia menengadahkan kepalanya. Haruka hanya mengusap-usap kepala An. “Nanti. Kalau sudah waktunya, kau pasti bisa bertemu dengannya.” “Lebih baik kau cepat tidur. Besok kita akan sibuk.” kata Haruka. An cemberut. Tapi ia tetap melangkahkan kakinya menuju kamar tidurnya.

***

Wina, Wall street.
“Cicak sedang menuju sarang ular.”
Pemuda berambut pirang itu berbicara dengan lirih pada alat komunikasi di telinga dan bajunya. Ia berjalan sambil makan es krim yang baru di belinya tadi. Ia hanya menggunakan kaus putih dengan jaket jeans biru dan celana jeans hitam, padahal hari itu suhunya sekitar 15 derajat Celcius. Apalagi tadi malam hujan turun dengan deras. Orang-orang di sekitarnya, minimal memakai syal atau sweater untuk menghindari udara dingin yang menusuk.
10 meter di belakang si pemuda, seorang gadis kecil juga berpakaian sedikit aneh. Ia hanya memakai celana hitam selutut dan baju tangan panjang berwarna hitam dengan jaket hoddie tanpa lengan berwarna senada. Orang se-profesional apa pun tidak akan bisa menyangka bahwa kedua orang itu sebenarnya berjalan beriringan.
Si pemuda melihat sekeliling, seperti mencari-cari sesuatu. “Ular hijau mencium bau cicak. Lakukan rencananya, D-Rabbit.” katanya melalui alat komunikasi.
Si pemuda kemudian berhenti di depan taman kota. Sesekali ia melihat jam ditangannya. Beberapa saat kemudian, si gadis kecil tadi, datang menghampiri si pemuda.
“Maaf, kau sudah lama menunggu ya?” tanya si gadis.
“Tidak, aku baru saja datang ke sini.” jawab si pemuda. Kemudian mereka bercakap-cakap sebentar sebelum akhirnya pergi meninggalkan taman itu. Setelah cukup jauh, “Hei, bisakah kau cari nama sandi lain? Aku tidak suka dengan sandi ‘Rabbit’ itu, Wizard.”
Si pemuda pirang yang ternyata adalah Wizard itu menoleh, dengan tatapan tak berdosa pastinya. “Tapi nama sandi itu cocok untukmu, Dita. Benar-benar imut.” katanya.
Gadis kecil yang ternyata adalah Dita itu memutar bola matanya. “Jangan bercanda. Itu tidak lucu.”
“Halooo~?? The Twins memanggiill..~~! Kalian nanti saja berdebatnya! Sekarang, cepat cari sarang ularnya, dan bawa beberapa ularnya kemari. Kita harus segera menyelesaikannya tanpa membuang-buang waktu.” Suara itu berasal dari alat komunikasi yang mereka pakai.
“Roger, Master.” jawab mereka kompak.

***

“Hm... bagaimana, Wiz? Kita langsung menerobos masuk?” kata Dita. Mereka ada di rumah dengan cat coklat yang sudah luntur di beberapa bagian. Kalau dilihat-lihat, rumah itu sepertinya kosong. Tapi, siapa yang tahu kan? Ah ya, kalau kau berpikir, “Ini rumah ularnya,” yeah, you right.
“Wait, kenapa kau memanggilku ‘Wiz’?” sela Wizard dengan kening berkerut.
“Yah, sebagai balasan kau memanggilku dengan sandi ‘Rabbit’. Jadi, kalau kau sekali lagi memanggilku dengan...”
“Oh, sudahlah. Kau terlalu cerewet soal nama.”
“Hei! Kau duluan yang...”
“Seperti kata Shakespeare, ‘Apalah arti sebuah nama’. So, don’t be fussy.” Wizard memotong perkataan Dita sambil mengawasi sekeliling rumah itu.
“Woi, tugas! Apa kalian lupa motto kita? ‘Mission is number one’. Yang lain belakangan. Sekarang, lanjutkan misi. Dan JANGAN MEMBUANG-BUANG WAKTU!” suara itu kembali terdengar dari alat komunikasi mereka.
“Aye, Master.”

***

Jumat, 20 November 2009

Aishiteru, Ao-kun! Part 8

“…Shortcake, Mille Feuille, Mint tea, Honey lemon tea, Fruits Cocktail, Tiramisu, Cappucino mint, Apple Pie, Lair Cheese Cake, Roll Cake, Mont Blanc, Madeleine, Gateau Chocolate, Honey Muffin… Café Au Lait… Opera Choco… Blueberry shortcake… lalu sentuhan terakhir… Blackforest…!” senandung An girang. Ia sedang menyiapkan ‘cemilan sore’nya di meja makan. Sebenarnya hanya seperempat-nya yang ditulis, kalo semuanya, bisa-bisa yang baca muntah. Semuanya kue euy! Prinsip An: “kalau makan makanan manis, hati jadi senang…!” (tapi ‘makanan manis’nya itu, gila-gilaan!).
“Minuman penutupnya mau apa?” tanya Wizard. Ia yang selalu membuatkan cemilan di rumah. Bersama Dita yang selalu membantunya.
“Engg… apa ya…? …. Ah, Moccacino shake dan Gin…!” pinta An.
“Hei, kau bisa mabuk kalau minum Gin. Tidak boleh!” seru Haruka dari sofa di ruang tamu (Gile, ruang makan kan ada di tengah rumah, ruang tamu di dekat pintu depan. Telinga singa bo..!).
“Uu~h! Ya sudah, sake Matatabi saja…!” sungut An.
“Baik An-sama.” jawab Wizard. Ia bergegas ke dapur bersama Dita.
“AN!! SUDAH BERULANG KALI KUBILANG?! KAU TIDAK BOLEH MINUM SAKE!” teriak Haruka dari ruang tamu. Dalam 2 detik, dia sudah berdiri di ambang pintu dengan wajah malaikatnya yang dingin (ceile!).
“Aku tak akan mabuk kok…!” erang An. Suaranya yang seperti lonceng, berharmonisasi dengan suara Haruka yang bagai kicauan burung Quetzal (halah! Waktu mau disembelih kali! :-P).
“Apa kau lupa?! Kau hampir membuat ruang tamu hancur 2 minggu yang lalu! Dan itu cuma dengan secangkir sake yang entah dari mana kau dapatkan!” suaranya hampir menggeram.
An memutar bola matanya. “Jangan, berlebihan. Aku hanya merusak dinding dan sofa.” katanya datar. An menatap Haruka dengan wajah polosnya. Tatapannya menusuk Haruka langsung ke manik-manik matanya.
Haruka balas menatapnya. Tatapannya tajam dan dingin. Mereka berdebat dalam diam, membuat atmosfer di sekeliling mereka hitam pekat (halah!). Dita dan Wizard masih lalu lalang di sekitar mereka untuk menyiapkan cemilan dan makan malam. Tampaknya tidak terganggu dengan adegan yang terasa menusuk-nusuk itu. Udah sering sih.
“Tidak.” kata itu keluar dari sela-sela gigi Haruka yang terkatup rapat.
“Ayolah… sekali ini saja. Aku janji tidak akan mabuk.” suara An penuh permohonan. Wajahnya langsung berubah. Wajah bulat kekanakannya mirip sekali dengan anjing yang ditinggal majikannya.
Haruka langsung memalingkan muka, sebelum pertahanan yang sudah dibuatnya runtuh seketika. Tapi ia sudah terlanjur melihatnya. Mata An yang bulat membesar saat menatapnya. Cepat-cepat ia memalingkan muka.
“Ya?” harap An.
Ugh, dia sangat membenci saat-saat seperti ini. Dimana An senang sekali memanfaatkan kelemahannya yang satu ini. Tapi sudah terlambat sekarang.
Haruka menghela nafas. “Baiklah, hanya kali ini saja.” suaranya hampir mirip erangan.
“Yeeei…!” An melonjak-lonjak kegirangan. “Kau memang Haruka-ku tersayang…!” lanjutnya sambil memeluk Haruka.
”Ya, ya.” ditepuk-tepuknya kepala An. “Sekarang, bagaimana caramu bisa pergi ke sana tanpa ketahuan oleh Ao?” tanya Haruka.
“Haaahh… itu lagi… tenang saja, itu gampang. Kau seperti tidak percaya padaku ya?” kata An. Ia menghempaskan tubuhnya di kursi meja makan. Bersiap makan cemilannya.
“Tidak juga. Hanya saja…” Haruka tidak melanjutkan perkataannya. Mata warna burgundy-nya menerawang.
“Karena disana tanda-tanda terakhir munculnya Porta Ilusia?”
Mereka menoleh ke pintu, arah datangnya suara itu. Disana berdiri seorang anak laki-laki dengan tinggi beberapa senti lebih pendek dari Haruka, itu Dark.
“Ya…. Tapi sangat samar… bisa saja Ao sendiri yang membukanya. Tapi, itu pun tidak mungkin.” jawab Haruka.
“I…dak…. Ihu hasti… hasukan Odin…!”(terjemahan: “Tidak… Itu pasti… pasukan Odin…!”) kata An dengan mulut penuh makanan. Setelah menelan makanannya, ia berkata, “Ao tidak mungkin berpindah dimensi, karena aku pasti langsung merasakannya. Lagipula, Ao tidak akan meninggalkan jejak sekecil pun.”
“Ee…hh?!” pekik Wizard dan Dita di pintu dapur. “Bagaimana bisa?! Padahal tidak ada jalan masuk, sudah kita segel kan?” tanya Wizard. Mata hijau topaz-nya membesar.
“Haaah…. Kalau cuma segel kekuatan, tetap saja…” kata Dark.
“Heh, kalau kau kira itu tak cukup, sana! Bikin segel baru!” gertak An. Dark hanya memeletkan lidahnya, “Tidak maauu…!” lanjutnya. Lalu langsung kabur sebelum kena lemparan meja makan.

***

“Grrrrr…. Dasar stupid brengsek…! Boncel sialan…! Dasar kacang…!!” geram Bobi. Ia lalu menenggak Vodka-nya. Sekarang ini ia and the gank berada di sebuah klub malam terkemuka di Jakarta. Teman-temannya sekarang sedang berjoget-joget ria di panggung. (Yaks!)
Bobi hanya ditemani salah satu temannya (yang menjurus ke arah sahabat), Verig. Ia adalah anak blasteran Belanda-Jepang-Sunda. Dengan wajah yang tampan (udah kulitnya putih mulus… rahangnya tegas… matanya indah… dengan bola mata berwarna biru tua, ada campuran hitam, trus klo kena cahaya warnanya jadi biru tua keperakan… keren deh! bulu matanya lentik-lentik gimanaa…gitu. Trus, rupanya itu lho… benar-benar handsome deh!), tubuh tegap, tinggi 187cm, tubuh yang kokoh (atletis gitu), de el el. Yah, Bobi aja kalah lah. Untungnya ia nggak iri dengan temannya yang satu ini.
“Tenanglah, man. Ngapain sih lo marah-marah? Kita ke sini kan buat senang-senang. Jangan lo rusak dong.” kata Verig.
“Gimana nggak kesel Rig, tu anak baru belagu banget! Baru 2 minggu aja udah keganjenan…! Gue heran, cewek-cewek itu ngeliat apa sih dari dia, sampe-sampe ngejar-ngejar dia banget?!” adu Bobi. Dia kembali menenggak minumannya. Verig terkekeh.
“Maksudmu… Ao? Paling lo cuma iri ma dia. Secara anak baru tapi bisa menggaet cewek-cewek se-sekolahan.” Verig tertawa. Bobi makin cemberut.
“Itu juga termasuk sih. Tapi, dia itu bikin Lova keganjenan ma dia! Haaah!!! Bastard!!”
Verig melirik iseng ke Bobi. “Oooh…. Jadi gitu ya… Karna putri Lova tercinta…~” Verig mulai bernyanyi.
“Shut up Verig! Gue lagi nggak bercanda…!” teriak Bobi untuk mengalahkan suara musik. Mukanya semerah tomat. Untung disitu ada efek-efek cahaya, jadi nggak ada yang tau warna itu berasal dari mukanya Bobi.
“Alaah, gue udah tahu… duluu… banget! Gue ini udah jadi temen lo dari kelas 1, lo nggak bisa bohongin gue deh….”
“Lo diem aja deh Verig! Mau gue timpuk pake botol hah?!” ancam Bobi. Verig hanya nyengir.
“Iya deh iya… gitu aja kok ngambek. Hehehe….” Verig terkekeh. “Yah, lo ngajak gue ketemuan disini cuma mo ngomongin itu doang nih ceritanya?” lanjutnya.
“Nggak juga. Gue kesini mau minta tolong nih ke elo. Lo tolong bantu gue ngasih pelajaran sama si Ao itu. Gue pengen bikin dia marah, tapi nggak bisa berbuat apa-apa. Sama kaya gue dulu.”
“Waah… itu rada susah Bob. Soalnya dari pengalaman lo itu, dia nggak bisa dikalahkan dengan cara main keroyokan. Bisa-bisa pengeroyoknya yang babak belur. Apalagi berdasarkan cerita temen-temen, dia itu nggak banyak omong. Jadi kalo dideketin, susah banget.” Jelas Verig. Bobi hanya diam. Verig pun terdiam.
“… Bobi…??” panggilnya.
“…”
“Woi man, lo nggak pingsan kan?” Verig pelan-pelan mendekati Bobi. Bobi menoleh, lalu tersenyum. Hanya senyuman biasa, tapi itu sudah cukup membuat Verig merinding.
“Ng... Bob...??” pelan-pelan Verig menyingkir dari samping Bobi.
“Nyaaaaaaa...????” jawab Bobi sambil mendekati Verig. Dengan senyum “berbahaya” tersungging di bibirnya.
Glek, senyum ini... tingkah ini.... Wah, ni anak kayaknya udah mabuk nih... bahaya..!!, pikir Verig.
“Bob... kita pulang aja ya... kayaknya lo udah ga kuat lagi di sini..” bujuk Verig. Verig pun menarik lengan Bobi menuju pintu keluar.
Mau tahu kenapa Bobi jadi “aneh” gitu?? Hehehe. Sebenarnya sih, sederhana. Bobi mabuk, itu doank. Tapi...!! Klo udah mabuk, Bobi bisa jadi anak “kecil berbahaya”. Dalam berbagai arti. Huahahaha.

***

Hari ini kelas 2 IPA 2 mendapatkan ‘hadiah’ ulangan pagi mendadak dari Pak Joko, guru kimia. Bapaknya sih senang-senang saja, tapi muridnya pada serek-serek semua. Untungnya soalnya gampang-gampang semua, banget malah. Tapi entah kenapa, dalam 5 menit kemudian, para siswa sudah terkapar tak bernyawa (baca: sudah menyerah tak berdaya). Ya iyalah, soalnya sih gampang banget, jawabannya itu lho!
Sudah begitu, bapaknya dengan teganya tertawa di atas penderitaan mereka saat melihat para muridnya yang sudah pada tengkurap tak bernyawa di meja. Bahkan, dengan sangat kejamnya, Pak Joko menyuruh para siswa mengumpulkan lembar jawaban mereka dengan alasan waktunya sudah habis. Para murid hanya bisa pasrah. Untungnya bel istirahat sudah berbunyi, kalau tidak, mereka bisa mendapat bonus ceramah dari Pak Joko.
“Gila… Pak Joko kejam banget sih ngasih soal…! Kalo tahu gini, mending tadi gue ijin sakit aja!” kata Lova jengkel. Dia sudah sangat pasrah saat mengerjakan ulangan tadi. Mau nyontek, tatapan bapaknya benar-benar menusuk. Alhasil, dia hanya berdoa dengan sangat agar hasil ulangannya nggak jeblok-jeblok amat. Dapat 5 aja sangat bersyukur, asal jangan berada dibawah garis kemiskinan.
“Gue mah, nggak bakalan masuk hari ini. Gue nggak yakin di kelas kita bakal ada yang nilai ulangannya diatas garis kemiskinan…” timpal Nana (catatan: geng tercentil di sekolah, LUNA, singkatan dari nama Lova, Uni, Nana, dan Aini. Lova-Nana di kelas IPA 2, Uni-Aini IPA 3).
“Kami sih udah kemarin ulangannya, jam terakhir pula! Gimana mau mikir tuh, bawaannya aja sudah pengen pulang.” sahut Uni, disambut anggukan Aini.
“Aduuh… cukup deh hari ini ngomongin ulangannya, gue kan pengen rileks dulu nih. Oh ya, ngomong-ngomong nih, gimana dengan PDKT lo sama si ‘anak baru’ itu?” tanya Nana kepada Lova. Yang ditanya cuma tersipu malu. Malu-malu kucing!
“Maksud lo… si Ao itu ya?” sela Aini.
“Yaiyalah! Emang siapa lagi? Sekarang kan Lova lagi ngincer tuh anak. Gila, cakep banget bo! Rambutnya panjang sih, mukanya jadi kelihatan chubby gitu.”
“Oh, anak pindahan dari Jepang itu kan? Emang sih, Erwin aja kalah cakep ama dia. Mukanya itu lho! Imut bangeet!! Trus gayanya itu kereen banget! Trus trus, tatapan matanya itu… Cool bangeets!!” kata Uni dengan mata berbinar-binar.
“Eits…! Gue lagi PDKT ama dia nih! Jangan diambil! Awas nanti lho…!” sela Lova sewot.
“Udah, maklumin aja…. Uni kan emang gitu, nggak bisa lihat barang bagus langsung gitu deh…” lerai Aini. “Tapi kayaknya saingan lo banyak deh. Anak kelas 1 aja udah berapa orang tuh yang langsung jatuh hati waktu ngeliat Ao? Apalagi kakak kelas, bahkan mungkin mahasiswi?!”
“Iya juga ya… apalagi ‘papan iklan berjalan’ itu udah bawa dia keliling sampe ke kampus-kampus. Bisa gawat tuh Lov, ntar keduluan yang lain gimana?” kata Nana memanas-manasi.
“Bener, sehari sejak dia pindah, fansnya bejibun! Tiap hari gue lihat di lokernya banyak banget surat. Yang pasti surat cinta kan itu? Banyak banget gila! Tiap hari dia udah hampir ketimbun surat-surat itu kalo Anton nggak nolongin. Eh, ngomong-ngomong, apa maksud lo ‘papan iklan berjalan’?”
“Ya si Anton lah! Dia kan yang duduk sama Ao. Apalagi gara-gara duduk sebangku, selalu kemana-mana bersama, jadi Anton ikutan susah juga tuh. Tiap hari dikejar-kejar fansnya Ao.”
“Eit… kok kayaknya lo peduli banget sama Anton nih…. Ada apa nih..?”
“Jatuh cintakah…? Atau… cinta???” tanya Uni jahil.
“Enak aja! Sembarangan!” hardik Nana.
Lova hanya diam. Bener juga kata Nana, gawat nih kalo keduluan orang.
“Eh iya, lo tahu kan kalo tiap hari pasti ada aja keributan gara-gara para fans Ao itu? Tapi kok mulai kemarin gue nggak dengar keributan kaya gitu lagi? Lo-lo pada tahu nggak?” tanya Lova tiba-tiba.
“Oh itu. Lo nggak tahu ya? Kan kemarin mereka mendaftarkan diri dalam fansclub-nya Ao. Kalo nggak salah namanya…. Ao’vers. Nggak ada guru yang tahu lho, bahkan Ao-nya sendiri juga.”
“Katanya, peraturan di sana itu.pertama, nggak boleh berbicara sama Ao sendirian, minimal berdua. Kedua, jangan pernah membuat susah Ao dalam hal apapun, sebisa mungkin bantuin dia gitu. Ketiga, jangan pernah ada yang pacaran sama Ao!”
“Hah?! Kok gitu?! Gue PDKT ma dia kan tujuannya itu! Gimana sih?!” sentak Lova kaget.
“Ya mana gue tahu? Kok malah sewotnya ke gue?” kata Uni sewot.
“Mungkin maksudnya, supaya suka dan dukanya sama-sama…! Jadi jangan sampai membuat iri yang lain gitu.” sahut Aini.
“Ya syukur-syukur aja kita nggak masuk fansclub gitu, yang ada malah kita punya fansclub kan? Hehehe…” Nana terkekeh sambil nyengir kuda.
Pembicaraan mereka terus berlanjut hingga bel masuk berbunyi.

***

Pulang sekolah, Anton dan Rena pergi berkunjung ke rumah Ao. Mereka akan mengerjakan tugas kelompok dirumah Ao. Sebenarnya sih, kelompoknya harus ada 4 orang, tapi mereka hanya bertiga (haha, cuma sisaan sih!). tapi dengan itu mereka bersyukur karena nggak ada pengganggu (maksudnya para fans Ao). Tapi saat ini, mereka sedang menunggu Ao yang sedang dipanggil adik kelas (lagi) di kantin. Sekalian makan gitu.
“Lama banget si Ao! Dari tadi ditungguin belum kelar-kelar juga?” sewot Rena.
“Lo udah bilang itu dari 20 panggilan lainnya kan? Udahlah, biasanya kan juga lama Ren. Kita tunggu aja, paling bentar lagi balik.” kata Anton menenangkannya. Dan memang, beberapa saat kemudian Ao datang mendekati meja tempat mereka duduk.
“Gimana? Ditolak? Terima? Nangis nggak? Lo ngomong apa?” tanya Rena beruntun.
“Hei, nanyanya satu-satu Ren.” sela Anton pelan.
“ Seperti biasa.” jawab Ao pendek.
“Lo tolak?! Yakin lo? Gue liat sekilas, cantik gitu, kenapa ditolak?!” Rena kaget. Gila aja, yang ‘nembak’ Ao cewek geulis euy!
“Ssstt…! Pelan-pelan dodol!” Anton mendelik ke arah Rena lalu melirik sekelilingnya. “Iya iya, sori…” sahut Rena. Di sekeliling mereka ada beberapa anak yang memasang kuping untuk mendengar omongan mereka.
Anton mencondongkan badannya ke meja, “Tapi kenapa?” bisiknya lirih. Hanya Rena dan Ao yang bisa mendengar kata-kata Anton.
“Tidak apa-apa. Aku hanya tidak suka keterikatan seperti itu.” jawab Ao.
“Haah???”
“Maksudnya??”
“Alone of think.” jawabnya singkat. Ao melihat jamnya sebentar. “Ayo cepat, aku tak mau buang-buang waktu.” lanjutnya. Mereka berjalan ke parkiran tempat mobil Anton di parkir.

***

2
Hokkaido, Jepang.
“An, sudah, berhenti! Jangan makan lagi. Kau jangan terlalu banyak makan! ” protes Haruka. Di depannya, An, sedang melahap chocolate cheese cake keempatnya. Ia menatap Haruka sebentar, lalu melanjutkan makannya lagi. (untuk memudahkan para pembaca, dialog di Hokkaido ini adalah terjemahan. Yah, untuk memudahkan penulis juga sih )
Dengan jengkel Haruka mengambil potongan cake yang ada di tangan An. “Hei, kau ini kenapa sih?! Aku kan lapar! Kembalikan!” kata An seraya mengambil kembali cake-nya. Haruka hanya menghela nafas.
“Ini sudah cake keempat! Kau belum kenyang juga?”
An menggeleng. “Cake di sini enak. Aku jadi tambah lapar.”
“Memangnya kau bisa merasakannya? Kau kan buta rasa,” kata Haruka sinis. An tidak menghiraukannya (dikacangiin kali…!).
“Berhenti sekarang atau kutinggal kau di sini! Kita kesini bukan untuk makan kan?”
“Ah, ya. Aku hampir lupa. Kalau begitu tunggu aku menghabiskan yang ini, lalu kita pergi.” jawab An sambil langsung melahap cake-nya. Setelah itu, mereka langsung pergi ke sebuah rumah besar yang tidak terlalu jauh dari café cake tadi.
Di ruang tamu rumah itu, sudah menunggu mereka seorang pria berambut coklat. Dia duduk dikursi sambil membaca suatu kertas. An dan Haruka duduk di depannya.
“Lama sekali,” gumam pria itu. “Maaf, tadi aku makan dulu.” sahut An.
Pria itu menghela nafas. “Ya ya, aku mengerti. Aku tahu kau keberatan dengan hal yang ingin kudiskusikan ini. Tapi kau tak usah sengaja berlama-lama di suatu tempat hanya karena tak ingin ke sini.” An menatapnya lurus, tanpa ekspresi.
“Kalau sudah tahu, kenapa masih memanggilku, Gunji?” tanya An datar.
“Sebenarnya aku juga keberatan dengan perintah ini, tapi perintah ini langsung dari ketua, kita tak bisa membantah. Lagipula, hanya kau yang ada di unitku. Ao sedang pergi cuti panjang, dan melaksanakan 1 misi lain.” Gunji menyeruput teh dimeja.
“Kenapa bukan yang lain? Nanaki mungkin? Dia kan Patner Ao di sini. Lagipula dia lumayan kuat. Helling-nya level 3, mungkin akan terus meningkat. Dia juga tipe Heaven kan? Kenapa tidak dia saja?”
“Aku juga sudah menyarankan itu. Tapi perintah pihak atas sudah tak bisa diganggu gugat lagi. Mereka sudah memilih yang cocok. Yaitu kau.”
Haruka menyela, “Kurasa misi kali ini berat. Mereka sampai berani menugaskan kalian untuk pergi jauh, bahkan tinggal di negeri orang. Padahal selama ini mereka sangat ‘menjaga’ kalian.” Haruka memberi tekanan pada kata ‘menjaga’.
“Mau muntah mendengarnya” sahut An dingin.
“Aku setuju dengannya. Bagaimana pun juga, kalian sangat berharga untuk dilepaskan begitu saja tanpa penjagaan. Lagipula hanya kau saja yang tersisa untuk tipe penyembuh sekaligus penghancur, walaupun ada Eri dan Miko, tapi mereka di bagian pengobatan, jadi tak mungkin diserahi tugas ini.” Haruka mengangguk mendengar perkataan Gunji.
“Dasar sampah-sampah menjijikkan. Kenapa tidak mereka saja yang pergi? Toh, walaupun sudah jadi ketua unit atau pimpinan Lock, mereka masih cukup kuat. Kenapa harus aku dan Ao?” gumam An jengkel.
“Seharusnya kau senang kan, bisa bertemu lagi dengan ‘kakak tersayang’mu itu?” kata seorang wanita yang datang dari pintu dalam. Rambut coklat tembaganya bergelombang-gelombang saat ia berjalan. Itu Eri.
“Memang sih, tapi kenapa harus tinggal di sana? Di sana itu penuh polusi, macet, tempat kumuh, makanannya tidak enak! Kotor!” seru An jengkel.
“Tapi di sana banyak penjahatnya lho…” tawar Eri sambil tersenyum. Ia yakin An akan tertarik untuk ke sana, ke Indonesia. An sangat, sangat tertarik hanya pada empat hal. Ayahnya, Ao, makanan, dan kejahatan. Tebakannya nyaris meleset, karena An masih merenung untuk memikirkan untung-rugi baginya.
Eri menggunakan kekuatan tidak biasanya-kekuatan supernatural khusus para anggota Lock- itu. Ia memasuki benak Gunji.
Bantu aku.
Kau yakin? tanya Gunji.
Apa aku terlihat seperti punya pilihan? Eri balik bertanya.
Baiklah, akan kucoba. Tapi kurasa dia akan tertarik ke sana, walau tanpa bantuanku. jawab Gunji
“Benar kata Eri. Kurasa kau cocok dalam misi ini. Kau bisa bersenang senang di sana tanpa pengawasan, kujamin hal itu. Di sana ada Ao. Kau pasti sangat bersenang-senang. Target kali ini lumayan sulit. Dia adalah seorang hacker. Pernah hampir tertangkap oleh tim elit yang dikirim CIA, tapi dia berhasil lolos dengan merobohkan 10 orang hanya dengan mengacungkan tangannya,” kata Gunji akhirnya.
“Karena itu mereka meminta kita mengatasi masalah ini kan?” sambung Haruka.
Gunji mengangguk,“Ya. Tapi tim elit kita juga belum berhasil menangkapnya. Jadi, ketua menugaskanmu untuk menangkapnya.”
“Tapi …”
“Tak ada kata keberatan. Kau tak boleh menolak,”
“Bagerou...” geram An.
“Kenapa tim elit tak bisa menangkapnya lagi? Seharusnya mereka sudah tahu orangnya kan?” tanya Haruka.
“Sebenarnya CIA tidak melacak dengan hal-hal fisik, tapi dengan rute-rute sistem hack-nya. Saat hacker itu menghack sebuah sistem di Pentagon, para operatornya segera melacak sistemnya. Setelah ketemu,mereka segera mengirim tim kesana, dan seperti yang kubilang tadi, pelaku berhasil lolos. Menurut laporan yang kuterima, kira-kira pelaku keturunan Belanda, karena aksen bahasanya sedikit Inggris.”
“Orang aneh,” sela An.
“Bukan aneh, tapi sangat aneh. Itu pendapat mereka. Karena pelaku bisa merobohkan tim khusus dengan pelatihan terkuat itu hanya dengan mengacungkan tangannya. Sangat mustahil itu terjadi, kecuali pelaku juga berhubungan dengan dunia kita. Saat penangkapan, pelaku menggunakan topi dan tudung jaket. Apalagi tempat penyergapannya remang-remang. Satu orang dari 10 korban yang dirobohkan melihat wajah pelaku, tapi sayangnya dia sudah tewas di kamar perawatannya pada malam ke-2 setelah penyergapan itu. Jadi sampai sekarang tak ada yang tahu siapa pelaku.” kata Eri.
“Ini adalah berkas-berkas yang berhubungan dengan pelaku. Di sini juga ada daftar situs-situs yang sudah di-hack olehnya.” sambung Gunji sambil menyerahkan berkas itu kepada An dan Haruka.
“Wow… operator Bank di Swiss juga sudah berhasil ditembus…” Haruka bergumam.
Setelah membaca beberapa lembar, senyum An tersungging. “Menarik,” seringainya.
“Oke, kuterima misi ini. Tapi dengan beberapa syarat…” An menyeringai nakal.
Haruka, Gunji, dan Eri saling berpandangan.

***

Pulang sekolah. Rumah Ao.
“Hikaru, tolong buatkan teh ya,” pinta Ao. Saat ini dia ada di ruang santai bersama Paul. Setelah makan malam mereka biasanya akan duduk-duduk di ruang santai. Bisa mengobrol, nonton tv, atau yang lain.
“Yoroshii,” sahut Hikaru. Ia segera ke dapur membuat teh.
“Bagaimana hari pertama di sekolah? Baik?” tanya Noin memulai pembicaraan.
“Tak baik dan tak buruk.” sahut Ao. “Hari ini aku lelah, setelah bermain kejar-kejaran dengan senpai.” lanjutnya.
“Nani ?! Naze ?!” Paul kaget.
“Aku tak tahu. Mungkin mereka selalu begitu pada orang yang baru mereka kenal.” jawab Ao sekenanya.
“Yah, tapi sekarang master..eh, kau sudah selamat dari kakak kelas yang aneh itu kan?”
“Mungkin,” sahutnya. Hikaru masuk sambil membawa nampan berisi teko dan cangkir teh.
“Ini tehnya, Ao-san.” kata Hikaru sambil menyerahkan secangkir teh. Hikaru juga memberikannya pada yang lain.
“Doumo.” sahut mereka hampir bersamaan. Saat itu telepon rumah berdering, Noin segera mengangkatnya.
“Halo, ada yang bisa dibantu? … ya, dengan siapa? …ah, baik, tunggu sebentar ya.” Noin berjalan mendekati Ao. “Ao-san, ada telepon,” katanya sambil menyerahkan gagang telepon pada Ao.
“Dare ?”
“Gunji-sama.”
Ao segera mengambil gagang telepon yang diserahkan Noin. “Ada apa? …. nanka? Bukannya aku sudah bilang, sebulan ini aku sedang off ? Tak ada orang lain? …. Tidak mau! Kau saja yang melakukannya! … apa? …. Haah, baiklah… tapi hanya kali ini saja…. Ya… aku mengerti.” Ao menutup telepon dengan muka kusut.
“Doushite ?” tanya Paul.
“Tugas. Lagi.”
Noin tersenyum geli. “Kalau cuma itu, Ao-san bisa kan? Kenapa kesal?”
“Ini adalah cuti panjangku, tak boleh dicampur adukkan dengan pekerjaan…!”
“Sudahlah Ao-san, tak usah dipikirkan. Tugasnya bisa diselesaikan dengan cepat kan? Lagipula, hanya 1 saja yang diterima Ao-san kan?” kata Hikaru.
“Kau tenang saja, aku tak mungkin memikirkan hal sepele seperti itu.” jawab Ao sambil berlalu. “Aku mau tidur. Oyasuminasai.” lanjutnya. Lalu ia berjalan naik ke lantai 2 kembali ke kamarnya untuk tidur.
Mimpi itu kembali.

***

Sudah seminggu ini Ao sering olahraga pagi. Yaeyalah, tiap hari lari mulu sih. Maklum, dikejar-kejar fans cewek. Dari SMU sampe anak kuliahan. Yah, resiko orang populer kan gitu. Tapi kok berlebihan banget sech?
Memang, Ao sering ‘olahraga pagi’ gara-gara dikejar-kejar anak cewek sesekolahan. Dari kelas tiga SMP, sampe anak kuliahan. Bahkan Anton dan Rena jadi ikut-ikutan ‘olahraga pagi’ juga. Yah, maklum, teman orang terkenal pastinya diuber-uber buat mengetahui info-info tentang tu orang.
Di dalam loker Ao sering ditemukan setumpuk surat dari para penggemarnya. Ao sering hampir tertimbun surat-surat bersampul nuansa cerah itu saat membuka loker saking banyaknya. Untung kedua temannya itu dengan setia dan senang hati membantunya. Yah, tapi capek juga kan? Saat Ao nggak masuk pun, mereka tetep diuber-uber juga. Tambah banyak malah, dikejar anak-anak cowok yang berang gara-gara gebetan or pacarnya jadi ikut ngejar-ngejar Ao. Untungnya, sampe sekarang mereka bertiga bisa lolos dari kejaran.
“Hah… hah… hah… hah…. Capek~! Mereka semua terbuat dari apa sih?! Masa’ lari sprint nggak capek-capek?!” gerutu Anton sambil ngos-ngosan saat mereka sedang lari menghindari kejaran fans Ao.
“Gila~! Capek banget…! Badan pegel, kaki lemes…. Lama-lama bisa copot juga nih kaki!”
“Kalian tidak apa-apa?” tanya Ao. Cuma dia yang masih segar bugar, padahal dia harus membantu teman-temannya bersembunyi.
“Heh, lo juga, terbuat dari apa hah?! Capek nih, capek! Sudah 2 jam kita lari-lari! 2 JAM!! Nggak pake istirahat lagi! Kita berdua capek banget, eh, elo kok santai-santai aja?!” seru Anton.
“Aku sudah terbiasa seperti ini,…”
“Eeh?!! Yang bener lo?! Jadi disekolah lo dulu juga begini?!” potong Anton dan Rena bersamaan.
“Aku belum selesai bicara…” kata Ao jengkel.
“Eh, sori, sori…”
“Aku sudah terbiasa seperti ini di rumah. Tousan sering memberiku latihan-latihan kecil yang mengharuskanku menghindar dari serangan.” Anton dan Rena hanya mengernyit.
“Maksud lo?”
Belum sempat Ao menjawabnya, eh, sudah ada suara-suara dari alam lain (baca: suara histeris para fans Ao). Jadi ya… begitulah. Nggak perlu dijelasin kalian pasti tau. Tapi untungnya para fans ‘sakit jiwa’ itu selalu kecele. Kalah gesit dari mereka bertiga. Mereka pun lolos dari pengejaran-pengejaran itu.

***

....
Oktober

November

Desember

Januari

4. TERBANGUN


Waktu berlalu. Bahkan saat rasanya mustahil, waktu tetap terus berjalan. Bahkan di saat setiap detik pergerakan jarum jam terasa menyakitkan, bagaikan denyut nadi dibalik luka memar. Waktu seakan berlalu di jalan yang tidak rata, bergejolak dan diseret-seret, namun terus berjalan. Bahkan bagiku.



(Waktu seperti cambuk panas yang dipukulkan oleh orang yang ku cintai, yang sedang berusaha membunuhku.)

Wuuaah...!!! akhirnyaaa... jadi juga..!! cerita karanganKyu~~! yaah, walau baru 4 part sec... udah lm ni gw pgen bkn cerita dgn karakter Kudou Ao ini... trus ntar ada adenya, namanya Kudou An. And, mereka KEMBAR...!! wehehehe...
Sebenarnya, karakter Ao dan An itu, terispirasi dr komik "Nanaki the Phsycic Power" dan "The Great Cases Yorozuya Toukaidou Honpou". Buat penciptanya, gw minta ijin nec,, minjem yaa nama-nama mereka.... hehehe... cuma namanya doank kok...!! (sifatnya, ya gw bikin sendiri).
Ohya!!! klo ada yang baca, karanganku itu "Aishiteru, Ao-kun!", tolong kasih comentar yaa!! buat koreksiku nanti...

sekian~~!

Mereka berkeliling sekolah sekitar setengah jam. Dimulai dari kantin, lalu ke ruang guru, ke ruang lab, kamar kecil, taman, ruang olahraga, dll, hingga akhirnya kembali ke kelas sambil lari. Mau tahu kenapa pake lari-lari?? Hmm?? Oh, oke, kita kembali ke cerita sewaktu mereka berkeliling.

Saat mereka sedang berada di lorong penghubung kantin dengan kelas anak 3, Rena merasa ada yang tidak beres. Ada dua keanehan disekitar mereka. Pertama, para anak cewek memperhatikan mereka lekat-lekat. Khususnya pada Ao. Rena tahu Ao memang berpenampilan agak aneh, anak cowok berambut panjang hitam legam sampai ke pinggang. Mimik wajah cowok innocent banget, tapi dengan rambut panjang lebih mirip cowok ‘cantik’. Dengan sifat dingin, cuek, jutek dan sejenisnya semakin terlihat. Dan Rena tahu itu yang memikat dari cowok yang satu ini, tapi ngeliatinnya nggak perlu segitunya kali!

Kedua, anak cowok di sekeliling mereka dikiiiitt banget! Yang ada paling anak-anak yang bawa buku tebel end berat seberat karung semua. Cewek-cewek yang ngeliatin mereka mulai mendekat. Rena menelan ludah.

Wah… firasat buruk nih…, pikir Rena sambil menyikut Anton. Anton menoleh dengan tatapan -ngapain-lo-nyikut-gue?-sakit-tau!-, kayaknya belum sadar juga.

“Apa ini cuma perasaan gue, atau di sekeliling kita emang cewek semua ya?” tanya Rena. Kedua cowok itu menatap ke sekitar mereka.

“Kayaknya emang bener cewek semua.” jawab Anton. “Kita ke kelas yuk, bentar lagi bel masuk,” lanjut Anton. Sepertinya sudah sadar akan keanehan yang ada.

Belum sempat mereka bertiga melangkah pergi, mereka sudah dicegat segerombolan cewek centil dengan rok miiniii… banget! Pasti kalo mereka membungkuk dikit aja, pasti kelihatan tuh celananya.

“Hai cowok…!” sapa seorang cewek. Ih, nadanya centil banget! Rena dan Anton aja sampe merinding lho! Lova end the gank aja kalah centil!

“Moshi-moshi, senpai.” balas Ao sambil sedikit membungkukkan badan. Hanya Ao yang merasa tidak terganggu. Mungkin.

“Boleh kenalan doong..! Siapa namanya? Anak kelas berapa?” kata teman yang satunya.

“Ao. Yang ini Anton dan Rena. Kelas 2.” jawab Ao. Cukup singkat.

“Ehm, maaf ya kakak-kakak, kenalan sampe di sini aja ya. Ntar kalo ada waktu bisa disambung. Kami permisi dulu. Mau ke kelas, sebentar lagi bel. Permisi,” kata Anton sambil menarik lengan kedua temannya. Dia merasa nggak nyaman banget dikerubutin oleh para ‘penyamun cowok’ itu.

Entah merasa nggak rela atau merasa belum puas dengan jawaban Ao, mereka menghalangi jalan di sekitar Ao dkk, itu resminya. Tidak resminya (kata lainnya) mengepung.

“Kok gityu siih..! Kan baru kenalan, masa langsung pergi…?” kata cewek yang paling centil di situ. Kali ini Rena bisa merasakan bulu kuduknya berdiri semua, Anton merasakan perutnya mulas, dan Ao sudah masuk dalam taraf terganggu.

Ao mendengus. “Gomennasai ne, senpai. Tapi kami sudah sangat terburu-buru. Mungkin lain kali kita mengobrol lagi. Some other time.” sahut Ao sambil berlalu. Rena dan Anton mengikuti dari belakang. Gerombolan cewek seperti terkena sihir apa, mereka hanya menurut aja. Tapi bisa aja kan? Ngeliat Ao aja kaya ngeliat dewa yang turun dari alamnya.

Yah, untuk yang ini mereka berhasil lolos. Tapi para ‘penyamun cowok’-nya bukan hanya yang ini, maasiiih banyak lagi. Ini bisa menjelaskan kenapa mereka kembali ke kelas sambil lari.

TbT

Selasa, 20 Oktober 2009

Hitam >< Putih

Apa kau tahu, bahwa dunia ini hanya terdiri atas hitam dan putih saja?
Apa kau tahu, bahwa warna abu-abu itu hal terlarang?
Dan, apa kau tahu, bahwa manusia lah yang menciptakan warna abu-abu itu?


Tidak kan?

Kamis, 01 Oktober 2009

Aishiteru Ao kun! part 3

Setelah bel istirahat berbunyi, tempat Ao dipenuhi oleh anak-anak sekelas. Kebanyakan cewek-cewek yang ingin kenalan dengan Ao.
"Hei Ao, kenalin nama gue Anton, dan yang di depan gue namanya Rena." sahut Anton sambil mengulurkan tangan.
"Halo," balas Ao sambil menjabat tangan Anton dan Rena. Tiba-tiba ada seorang cewek yang menerobos "dayang-dayang" di sekeliling mereka dan langsung duduk di sebelah Rena.
"Hei Ao! Kenalin, gue Lova," katanya dengan suara yang dibuat-dibuat dan senyum yang semanis mungkin.
“Oh ya Ao, lo kan anak baru, jadi belum tahu pelajaran yang udah lewat kan? Nih gue pinjemin buku pelajarannya. Lo bisa balikin minggu depan kok,” kata si ‘Miss Centil’ itu sambil menyodorkan setumpuk buku pelajarannya di meja Ao.
“Tapi, tidak apa-apa?” tanya Ao.
“Tenang aja. Gue lagi nggak perlu, jadi lo bisa pinjem deh!”
“Arigatou ne, Lova-san.” jawab Ao pendek. Walaupun sedikit tidak mengerti, tapi Lova bisa menduga-duga artinya trima kasih.
“Woi banci! Sini lo! Gue bilangin ya, setiap lo ketemu gue, lo harus kasih gue ongkos masuk kelas! Cuma sampai sebulan aja lo harus bayar, kalo sudah lewat elo nggak perlu bayar. Cuma perlu bayarin gue di kantin.” cerocos Bobi. Semua orang yang ada di situ tahu bahwa yang dimaksud adalah Ao, tapi dia hanya diam tak menjawab, toh dia cowok kan? Bukan banci atau cewek.
“Woi! Denger nggak sih?! Ao! Sini lo! Dipanggil dari tadi juga!” seru Bobi.
“Kau memanggilku?” sahut Ao datar. Sangat-amat-minim-ekspresi.
“ Ya iyalah cebol! Dari tadi gue manggil elo kale?! Lo nggak denger ya?!” gertak Bobi.
“Kau tadi tak memanggilku. Kau memanggil seseorang yang kau sebut… apa tadi? Ban…ci? Ya, itu. Kalau kau memanggilku, kau bisa panggil ‘Ao’ kan? Aku ini punya nama. Dan jangan sebut aku ‘cebol’.” kata Ao.
“Oh, jadi lo marah gue panggil lo ‘banci’ dan ‘cebol’ hah? Emang lo banci kan! Rambut panjang gitu, kan cuma cewek yang rambut panjang segitu?! Lagian, badan lo pendek banget.! Apa coba namanya kalo bukan CEBOL!!”
Ao hanya menatapnya datar. Tak ada yang menyangka bahwa beberapa detik kemudian dengan gerakan yang tak dapat diterka, Ao dengan gerakan sangat cepat mencengkeram tangan kiri Bobi, dan menariknya. Secara bersamaan Ao menyikut perut Bobi dengan siku kirinya. Lalu menendang kakinya ke belakang hingga Bobi jatuh tengkurap. Belum selesai dengan itu, Ao dengan segera mengunci kedua lengan Bobi ke belakang hingga Bobi meringis kesakitan.
“Cepat tarik kata-katamu itu kalau kau masih mau melihat matahari pagi. Aku memang pendek, kuakui itu. Tapi aku lebih kuat darimu.” kata Ao dingin. Bobi hanya terus meringis, tak menjawab. Semua yang ada di situ hanya bengong, tak percaya dengan yang mereka lihat. Bobi menatap gank-nya meminta pertolongan. Teman-temannya sudah mau menolong, tapi hanya dalam sekali tatap, Ao sudah membuat mereka tak bisa bergerak. Ciut. Tak punya nyali.
Dasar orang-orang pengecut, pikir Ao.
Dengan wajah tanpa ekspresi (atau mungkin tanpa belas kasihan..?), Ao menekan kuncian lengan Bobi sampai dia berteriak kesakitan.”Silahkan pilih, tarik kembali kata-katamu, atau kupatahkan tanganmu.”
“Ergh… o,oke… gu,gue tarik kata-kata gue tadi..! Jadi lepasin…!” ratap Bobi sambil tergagap-gagap.
“Subarashii,” Ao pun melepaskan tangan Bobi. “Nah, setelah kulepaskan tanganmu, kau tak melanggar apa yang kau katakan bukan?” tanya Ao.
Bobi hanya membuang muka. Dia benar-benar kesal -dipermalukan-di-depan-teman-temannya-hanya-oleh-seorang-murid-baru- tapi tak bisa berbuat apa-apa.
“Kuanggap sikap diammu itu sebagai jawaban ‘ya’.” sahut Ao dingin. Ia kemudian berjalan ke arah Anton dan Rena. Mereka berdua masih bengong, sama seperti yang lainnya.
“Hei, bisakah kalian antar aku berkeliling sekolah ini?” tanya Ao.
“Ah, bisa, bisa! Mumpung waktu istirahatnya belum habis! Ayo,” jawab Rena yang sadar karena ‘nyawanya’ lebih dulu sampai di bumi daripada Anton. Ia langsung menggamit lengan Ao dan Anton. Dia ingin segera keluar dari situ sebelum Ao sempat ‘ditelan’ kerumunan teman-temannya.

I'd Tell You I Love You, but Then I'd Have to Kill You

Aku Bisa saja Bilang Cinta, tapi Setelah itu Aku Harus Membunuhmu

Aku sudah cukup sering mengalami peristiwa ketika aku nyaris mati; tapi bukan berarti dengan begitu aku jadi terbiasa.
Namun anehnya, lagi-lagi aku harus berhadapan dengan kematian, dan tak bsa mengelak darinya.
Meski begitu kali ini berbeda dari dari yang sudah-sudah.
Kau bisa melarikan diri dari orang yang kau takuti, kau bisa melawan orang yang kau benci. Semua reaksimu siap menghadapi pembunuh-pembunuh semacam itu-para monster, para musuh.
Tapi bila kau mencintai orang yang membunuhmu, kau tak punya pilihan lain. Bagaimana kau bisa melawan, jika melakukannya berarti mencelakakan orang yang kau cintai? Bila nyawamu satu-satunya yang harus kau berikan untuk orang kau cintai, bagaimana mungkin kau tidak memberikannya?
Bila itu orang yang benar-benar kau cintai?

Senin, 17 Agustus 2009

Aishiteru Ao kun! part 2


Kriiiiiing...!! Suara dering alarm terdengar di sebuah kamar yang bisa dibilang mewah itu. Tangan Ao bergerak-gerak mencari jam weker untuk dimatikan.
Uugh... mimpi itu lagi....” gumam Ao. Akhir-akhir ini Ao sering bermimpi sama, berada disebuah danau biru keperakan dimalam bulan purnama di tengah hutan. Dan, seorang gadis. Setiap kali melihatnya, Ao merasa mengenal wajahnya. Tapi setiap ingin mengingatnya, itu semakin melupakan déjà vu itu.
“Ao-Kun..! Ayo bangun! Bukannya hari ini hari pertama anda sekolah? Cepat bangun! Nanti terlambat! Anda tidak boleh memberi kesan buruk pada teman-teman baru anda..!” teriak seorang pria muda di depan sebuah kamar sambil mengetuk pintu.
“Ya ya... tunggu sebentar,” seru Ao dari dalam. Dia segera bergegas mandi dan berpakaian. Beberapa saat kemudian dia keluar dengan pakaian seragam berompi dan langsung turun ke lantai 1 untuk makan bersama.
“Ao-San, ini hari pertama anda masuk sekolah kan? Apakah semua urusan tentang kepindahan anda sudah beres?” tanya seorang cewek bertubuh mungil seperti Ao dan berambut pirang yang pendek yang duduk di hadapan Ao.
“Tenanglah Hikaru, semua urusan sudah dibereskan Paul.” jawab seorang pria muda dengan pakaian seperti pelayan yang membawa nampan minuman ke meja makan.
“Tapi, bagaimana dengan rambut Tuan yang panjang? Yang pernah Hikaru dengar, sekolah di sini tidak memperbolehkan siswa-nya berrambut panjang kan? Rambut Tuan panjangnya sampai ke bawah pinggang, apa mungkin akan dipotong, Noin?” tanya Hikaru pada si pria muda berpakaian pelayan yang disebut Noin itu.
“Tenang, Hikaru. Aku tak akan mendaftarkan tuan ke sekolah yang membuatnya bermasalah. Sekolah itu memperbolehkan siswa-nya berambut panjang, tapi harus rapi. Jika tidak, ya... dipotong oleh guru.” sahut Paul yang duduk di sebelah Ao.
“Ayo berangkat, Paul. Kita bisa terlambat,” kata Ao sambil beranjak pergi.
@ @ @
Begitu sampai di sebuah kompleks gedung bertingkat, Ao dan Paul segera turun dari mobil dan masuk ke kompleks gedung melalui gerbang yang menjadi penghubung antara pekarangan luar dan dalam.
Kompleks gedung itu adalah Sekolah Athens, gabungan dari sekolah SD, SMP, SMU, dan Universitas Athens. Lingkungannya bersih, dan tertata rapi. Di belakang sekolah ada taman kecil yang terawat dan biasanya siswa-siswa Athens menjadikannya sebagai tempat bersantai. Bangunan gedung tersusun membentuk kompleks, terdiri dari bangunan SD, SMP, SMU, dan Universitas. Belum lagi dengan beberapa fasilitas yang wajib ada, dan fasilitas tambahannya. Dari semuanya, terlihat sekali kalau Athens adalah sekolah favorit dan elit.
Begitu masuk, mereka langsung mencari ruang Kepala Sekolah untuk mengurus masalah Administrasi. Saat masuk ke ruang Kepala Sekolah, mereka bertemu seorang guru laki-laki. Usianya sekitar 30 tahunan, lebih tua dari Paul.
“Oh! Sudah datang rupanya. Kau murid baru itu kan? Perkenalkan, saya Kepala Sekolah Athens, Pak Heriyadi. Dan ini adalah wali kelasmu, Pak Toni. Dan kau, Kudou Ao, murid pindahan dari Jepang itu kan?”
Ao hanya mengangguk pelan.
“Hm, kau kalau tak salah, masuk di kelas 2… IPA 2, benar Pak Toni?” tanya Pak Heriyadi, Pak Toni hanya menganggukkan kepala. “Baiklah, berhubung saya juga ada rapat di lain tempat, saya pamit dulu ya semuanya. Pak Toni bisa mengantarmu ke kelas barumu.” lanjut Kepala Sekolah.
“Silahkan Pak,” jawab Pak Toni. Pak Heriyadi segera keluar dari ruangan Kepsek. Dan tinggal Ao, Paul, dan Pak Toni di dalam ruang Kepsek.
“Ayo Ao, ikut saya ke kelas barumu. Saya akan memperkenalkan kamu pada murid-murid saya yang lain.” sahut Pak Toni. Mereka pun segera beranjak keluar. Tapi, baru 2 buah kelas yang dilewati, Ao menghentikan langkahnya lalu menoleh ke belakang.
“Paul, kau pulang saja dulu. Tak perlu menungguku di sini.” kata Ao pada Paul.
“E..? Naze?!”
Dame. Aku sudah hapal jalan di sekitar sini sampai ke rumah. Jadi kau tak perlu menjemputku.” jawabnya.
“Uh… Wakatta…”
Subarashii,” Ao tersenyum puas.
Kiotsukete ne..!” Paul pun bergegas pergi ke gerbang depan dengan sedikit berlari.
“Ehem. Kau sudah selesai dengan urusanmu kan? Ayo kita segera pergi.” sahut Pak Toni dengan alis kanan sedikit terangkat (karena nggak ngerti sama yang diucapkan Ao dan Paul). Kemudian mereka melewati koridor menuju kelas yang ada di dekat kantin.
“Ao, kau tunggu di sini sebentar. Nanti kau masuk setelah saya panggil.” sahut Pak Toni. Kemudian Pak Toni langsung masuk ke kelas. Sementara Ao menunggu di luar.
“Selamat pagi anak-anak. Hari ini kita kedatangan murid baru. Bapak harap kalian bisa berteman baik dengannya. Sebentar Bapak panggil dulu.” kata Pak Toni.
Ao segera masuk ke kelas. Ketika melihat Ao, hampir semua orang di kelas terpana, ada yang kagum dan ada yang heran dengan penampilan Ao. Sedangkan Ao, walaupun tahu perhatian seisi kelas tertuju padanya, ia tetap pasang wajah cuek.
Orang-orang bodoh.
“Perkenalkan anak-anak, nama lengkapnya Kudou Ao. Kalian bisa memanggilnya Ao. Dia murid pindahan dari Jepang. Saya ingin agar kalian bisa berteman baik dengannya.” ucap Pak Toni.
“Pak, Ao itu cowok atau cewek sih? Namanya cowok, kok orangnya kayak cewek? Dia banci ya?” tanya Bobi. Serentak hampir seisi kelas tertawa, terutama teman-teman se-gank Bobi.
“Jangan meledeknya Bobi! Rambutnya memang panjang, tapi dia laki-laki!” sahut Pak Toni galak.
“Pak, bukannya rambut Ao terlalu panjang? Kenapa tak dipotong?” tanya Rena yang sedari tadi diam.
“Karena rambutnya tidak berantakan. Kau sendiri tahu kan dengan peraturan di sini? Pihak sekolah sudah memutuskan, memperbolehkan siswanya berambut panjang. Tapi harus rapi, jika tidak, tentu akan dipotong pihak guru.” jawab Pak Toni.
“Baiklah Ao, kau duduk di sebelah Anton. Sekarang, kita mulai pelajarannya.” lanjut Pak Toni.
@ @ @

Sabtu, 15 Agustus 2009

Aishiteru Ao kun! part 1


Dimana ini? gumam Ao bingung. Saat ini dia ada di sebuah danau biru keperakan yang lumayan besar di dalam hutan lebat. Sebuah tempat yang indah, dan terkesan misterius. Cahaya bulan merembes dari dedaunan di sekitar danau, bulan itu sendiri bersinar terang di atas danau. Bayangan bulan purnama terpantul di atas danau. Keheningan yang ada di sana menenangkan, dan terkesan berbeda. Seperti kecantikan yang menyembunyikan rahasia menakutkan di dalamnya. Magis. Tapi menenangkan.
Saat Ao menoleh, di dekat danau tak jauh di depannya ada seorang perempuan berambut pendek yang sedang duduk memunggungi Ao. Sepertinya ia tak menyadari kehadiran Ao di situ, ia masih asyik bermain air danau.
Siapa?
Hening.
Kemudian perempuan itu berdiri, dan berpaling kearahnya. Mata biru sebiru danau miliknya, berubah sendu saat menatap Ao. Ao terhenyak, déjà vu yang dirasakannya sangat kuat.
“Kau…?”

Kembali ke waktu dulu. Dunia telah berubah. kembalilah ke masa lalu yang sudah tak mungkin lagi disentuh.. Kemasa yang seperti biasanya yang kini telah berubah... Seandainya semuanya tidak ada yang berubah, di saat aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku pasti tak bisa melindungi mereka. Karena aku dengan mereka berbeda dunia....
Sudah tak bisa kembali lagi....

..."A secrets makes a woman woman..." ....
..."Rahasia membuat wanita manjadi wanita..."....

(Vermouth)