~* Black Winged Angel *~

Vali dan Narvi

About Me

Foto saya
Seorang cewek yang baru menyadari kalo dirinya adalah seorang Fujoshi tingkat medium,Pecinta doujin Shonen ai & Yaoi (dengan beberapa pengecualian) tapi hanya yang gambarnya bikin...aw~, punya impian memiliki serigala, punya sayap(hiks!),mengendalikan api(HUAA!!pengen BGT!!). Saat ini sedang mencoba membaca doujin Final Fantasy 7...tapi masih menolak versi Hardcore or Lemon. Cih, gara-gara seorang doujinka dengan pen-name KIKI (sialan!) yang telah menularkan dengan gambar Cloudnya yang... ugh, mimisan gue... *nyari tisu*
Sabtu, 09 Oktober 2010

Aishiteru, Ao-kun! Part 13

Well... rasanya gua ada bilang bakal beda tempat... tapi syukurnya gua ga janji, jadi gua ga bakal ngerasa bersalah ngepost ini, because ini masih cerita Ao. Gue masih stuck nih bikin cerita An.

_______________________________________________________________________________


Hari Senin yang cerah... begitu indah dengan suara kicauan burung-burung kecil, angin semilir yang sesekali berhembus dengan volume pelan, daun-daun kering yang berjatuhan saat tertiup angin.... Tapi tetap saja tidak ada yang lebih bagus dari dengungan suara-suara berisik yang bergema di tengah lapangan, tetesan keringat yang membasahi hampir sekujur tubuh, tumbangnya beberapa orang yang entah sengaja atau memang tidak kuat lagi, dan yang paling penting, matahari yang bersinar cerah seolah sedang mengejek para murid yang sedang melakukan upacara bendera.
Ya... hari yang sangat cerah.
“Oh gosh... sumpah gue pengen pingsan aja...” rintih Lova setelah menghempaskan tubuhnya di kursi. Nana yang duduk disebelahnya merebahkan kepalanya di meja.
“Lo kira lo aja apa... gue mah udah mau tepar tadi... Kalo aja tuh bel penyelamat telat dikiiit aja bunyi... Huaaaah... dunia mimpi, I’m coming ~~” sahut Nana.
Lova ingin menimpali perkataan Nana saat dari sudut matanya ia melihat sang “Sweety Prince” berada di ambang pintu. Lova hanya menatapnya dengan tatapan oh-my-god-lo-cakep-banget-sih.
“Tapi yah... paling nggak gue seneng sih...”
“Gara-gara lo baris di samping Ao kan?” timpal Nana. Lova hanya tersenyum malu-malu.
“Beuh... kalo gitu kenapa nggak disamperin aja sekarang?? Cepet gih sana. Hus hus...”
Lova memutar bola matanya. “Ngusir nih ceritanya?”
“Hehehe... iya. Tau aja sih loe....” Nana ketawa cengengesan.
“Huh... dasar. Ya udah deh, gue pergi dulu. Sekalian ngasih tau Anton tentang elo yang begitu mengkhawatirkan dia waktu Anton dikejar-kejar fans Ao yang sakit jiwa itu.” kata Lova sambil lalu.
Nana langsung bangkit dengan wajah memerah. “Maksud lo apaan?!”
Sayang Lova sudah ngacir duluan.

TbT

Nah sekarang... gue mesti ngapain?, pikir Lova.
Saat ini ia ada di depan pintu kelas. Bingung mau nyamperin Ao apa nggak. Karena tadi ia lihat Ao berjalan masuk ke ruang guru yang hanya beda 3 kelas dari kelasnya dan Ao.
Uuukh.... Nggak jadi deh..., Lova yang semula udah jalan ke ruang guru, langsung putar haluan. Langsung ngacir ke toilet.
“Duh... gue belum siap... belum siap...” gumam Lova sambil mondar-mandir di toilet. Sesekali ia melongokkan kepala keluar. Mencari-cari keberadaan Ao.
Ya udah deh... gue balik aja, pikir Lova akhirnya. Ia kemudian kembali ke kelasnya.
Haah... coba gue bisa kayak dulu..., Lova jadi teringat kejadian saat ia ‘kumat’ centilnya. Saat dia meminjamkan buku pelajarannya pada Ao. Lova bener-bener pengen jedukin kepalanya ke tembok kalo ingat itu. Duh... malu pisan euy!
Lova terus ngedumel dalam hati sampai-sampai tidak memperhatikan jalan. Tanpa sengaja ia menubruk seseorang yang membawa setumpuk kertas tipis (baca:amat-sangat-tebal) di tangannya sehingga membuat mereka berdua terjatuh. Well, rasa sakitnya lumayan lho. Apalagi Lova jatuhnya pantat duluan.
“Aw!” jerit Lova sambil memegang pantatnya yang menjadi korban karena telah melindungi tulang ekornya dari hantaman lantai keras yang dinginnya sangat tak berperasaan (halah LEBAY!).
“Ah. Gomennasai.” sebuah tangan terulur di depan wajahnya. Lova langsung menyambutnya tanpa memperhatikan lagi siapa yang menolongnya itu. Pelan-pelan Lova berdiri sambil merintih pelan. (Emang sesakit apa sih?? Lebih sakit kan kalo jatuh yang mendarat muka duluan... –ditendang-)
“Tidak apa-apa?” sebuah suara alto yang nge’bass’ dan sangat dikenal Lova, yang sanggup membuatnya dag-dig-dug-dugdug-dug ALLAHU AKBAR ALLAHU AKBAR! Hooree! Buka-an! Buka puasa! –dirajam massa-
Maap atas ketidaknyambungannya. Back to story.
Lova mengangkat wajahnya hanya untuk melihat iris mata berwarna biru langit- lho? Perasaan waktu pertama kali warnanya kayak ungu gitu deh. Tapi Lova tidak menghiraukan pertanyaan yang melayang-layang di benaknya itu. Ia begitu terhanyut akan tatapan mata yang begitu dalam, sedalam samudraa~ (jiah, malah nyanyi) –coughcough- tatapan mata yang begitu memerangkap. Tatapan mata dari orang yang selama ini selalu diperhatikan Lova.
“...Lofa-san?”
(A/N: berhubung di Jepang ga ada huruf ‘v’ –rasanya sih-, jadi Ao manggil Lova dengan “Lofa” dan tambahan ‘san’ untuk kesopanan –caelah bahasanya-, dan huruf ‘v’ diganti menjadi ‘f’)
“Eh... iya... nggak apa-apa kok.” sahut Lova gugup. Ia menunduk, melihat bahwa tumpukan tipis (baca: tebal) kertas yang tadi dibawa Ao berserakan di lantai. “Ah..!” jeritnya tertahan.
Lova berjongkok dan mulai memunguti tumpukan kertas tebal tipis itu satu persatu. Ao juga melakukan hal yang sama.
“Duh... sorry banget ya... gara-gara gue, berkas-berkas lo jadi berantakan gini...”
“Hn....”
Hanya itu huruf kata yang keluar dari mulut Ao. Dan juga sebagai jawaban absurd sebelum akhirnya keheningan panjang (567.332 nanodetik) mengisi suasana canggung (bunga-bunga musim semi bertebaran di hati Lova, malaikat-malaikat kecil bernyanyi dan menari sambil membunyikan lonceng) di sekitar mereka (kertas, kertas, kertas, dan KERTAS).
Oke. Tanda-tanda gaje. Back to story.
Setelah selesai merapikan berkas-berkas yang berserakan, Ao mengulurkan tangannya pada Lova, meminta tumpukan kertas yang berada di pangkuan Lova.
“Eh, nggak usah deh... gue aja yang bawain ya! Daripada ntar lo nabrak orang atau kepeleset atau salah jalur atau apa...gitu, kan berabe urusannya nanti.” kata Lova sambil nyengir.
Ao hanya mengangkat sebelah alisnya. “Baiklah.” Lalu ia berjalan meninggalkan Lova.
Lova bengong.
Ao terus berjalan beberapa langkah, tapi kemudian ia berbalik dengan anggun layaknya Sephiroth Cloud-KU yang tampan-imoet-cuakep-geulis(?)-cuantiek(?)-muaanuiis kayak coklat dari Bermuda (emang ada tuh?), sehingga membuat Lova terpesona. Apalagi background Ao berbalik dengan anggun layaknya Cloud-KU yang tampan-imoet-cua- -author dilempar kursi- *coughcough* ehm, backgroundnya pake bunga-bunga gitu. Tapi jangan salah, bunganya keren dan unik lho, ada mawar hitam (kalo ada), anggrek hitam, mawar biru (kayaknya ada nih), sakura, tsubaki, aster merah (kalo ada), lilac, lily hitam dan merah darah (kayaknya dicat nih), melati, kamboja... KOK JADI NGOMONGIN BUNGA SIH?!
Ehm, maap atas melencengnya cerita. Back to story.
“Sampai kapan kau akan berdiri disitu?” tanya Ao datar. Ia berbalik dan berjalan lagi. Lova mengerjap. “Hei, tunggu dong...!” dengan setengah berlari Lova mengejar Ao yang sudah pergi meninggalkannya.
Selama perjalanan, tak ada satu pun dari mereka yang bicara. Lova –selain rasa berdebar karena ia akhirnya bisa bersama Ao berduaan- bingung ingin mengobrol apa. Sedangkan Ao, ia sedang memikirkan sesuatu.
Karena tak tahan dengan kebisuan di antara mereka, Lova akhirnya memberanikan diri membuka suara.
“Err... Ao, gue bingung deh.... Mata lo itu warnanya aslinya emang biru gitu ya? Rasanya waktu hari pertama lo masuk, mata lo warnanya rada ungu gitu...” Lova bertanya dengan suara pelan.
“Tidak.” Oh, singkat sekali jawabanmu itu, Ao.
“Lho? Jadi lo pake contact lens nih?”
Ao melirik sekilas ke arah Lova. “Saat ini, tidak. Mataku kadang terlalu sensitif terhadap benda asing.”
“Oh...” Lova hanya ber’ooh’ ria. “Ng... jadi, warna mata asli lo apa dong?”
Ao berhenti berjalan, kepalanya menunduk melihat lantai. Ia terdiam. Refleks, Lova ikut berhenti di samping Ao.
“Kau benar-benar ingin tahu?” Ao masih menundukkan wajahnya.
“Em...” mungkin, pikir Lova. “Yeah, gue pengen tahu.” Habis jarang-jarang ada orang dengan mata ‘bule’ kaya elo.
“Warna asli  mataku...” Ao mengangkat wajah, dan menatap Lova. “Merah.”
Lova terpaku. Iris mata Ao yang sekarang menatapnya, bukan lagi biru langit seperti sesaat yang lalu, tapi seperti yang dikatakan Ao barusan. Warnanya merah. Merah darah.  Berkilau dan jernih.
Tatapan mata Ao menghanyutkan Lova. Lova tak bisa mengalihkan pandangan dari manik-manik merah di mata Ao itu, yang seakan bisa menenggelamkan siapa saja yang berani mencoba menyibak rahasia kelam dibaliknya. Mereka berpandangan selama 5 detik –yang terasa sangat lama bagi Lova- sebelum akhirnya Ao menyentakkan kepalanya bawah.
Ao mengangkat wajahnya lagi, warna matanya kembali menjadi biru. “Kurasa kau tidak akan memberitahukan hal yang tidak terlalu penting ini kan?”
Lova yang masih shock, hanya bisa mengangguk pelan. “Kok bisa...?”
Ao hanya melirik Lova dari sudut matanya, salah satu sudut bibirnya tertarik sedikit. Aw... senyum miring yang misterius....
“Rahasia.” kata Ao, kemudian ia berjalan lagi. Lova menyamakan langkah di sebelah Ao.
“Kali ini aku yang bertanya.”
Lova menoleh. “Eh?”
“Kau itu... gurifurendo­  Rico ya?” Lova cengo bentar. “Hah?”
“Ah... maksudku, pacar.”
Lova mangap. Terjadi loading di kepala Lova.
Satu....
Dua.......
Tiga........
Empat.......
Lim-
“HAH?!” Lova hampir berteriak histeris, kalau saja ia tidak ingat kalau saat ini mereka hampir melewati ruang guru. “Gue?? Pacaran ama Rico?! Dapet kabar darimana sih??!”
“Hanya analisis semata.” jawab Ao datar. Lova mengerutkan dahinya, “Maksud lo?”
“Kupikir Lofa-san itu gurifurendo  Rico. Karena saat ini Rico sedang menatap kita di pintu kelas dengan tatapan seorang boifurendo  yang sakit hati –dan sepertinya tatapan membunuh- karena telah menangkap basah gurifurendo-nya sedang selingkuh dengan seorang cowok di depan matanya sendiri.”
Lova terdiam, lalu ia menoleh ke arah pintu kelas yang tidak jauh dari mereka. Disana berdiri Rico, dengan wajah merah padam, menatap mereka dengan tatapan marah, kesal, jengkel, sakit hati bercampur jadi satu.
Ao melanjutkan lagi, “Karena aku yakin Rico itu masih normal, jadi tidak mungkin ia punya perasaan padaku, dan tidak ada orang lain disini selain kau, Lofa-san.”
Lova terdiam. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Yah, Lova memang tidak bisa mengelak kalau Rico naksir padanya. Ia juga sudah tahu hal itu. Bahkan seingatnya, Rico sudah me’nembak’nya 35 kali sejak SMP, dan 35 kali juga Lova menolaknya dengan tegas. Banyak yang tercengang saat kabar bahwa Lova menolak Rico menyebar seantero sekolah. Bahkan Nana, Uni, dan Aini mencecarnya dengan barbagai pertanyaan.
“Gue nggak suka sama dia.” Hanya ini alasan yang selalu Lova katakan.
Ia sendiri heran, kenapa dia nggak suka sama Rico yang notabene ‘sempurna’ itu? Yah, kecuali sifatnya yang suka menindas orang. Rico itu udah cakep, tinggi, putih, pinter olahraga, romantis abis, dan kaya pula! Secara tiap minggu dia naik mobil ke sekolah, ganti-ganti merk. Dan semuanya merk terkenal. Udah jelas dong, banyak cewek yang pengen jadi pacarnya Rico. Yah, walau menurut Lova, mereka lebih tertarik pada kekayaan Rico, yang harus ia akui melebihi dirinya. Secara Rico itu putra seorang pengusaha Internasional yang sukses.
Tapi Lova sama sekali tidak tertarik. Bahkan pada kekayaannya sekalipun?
Tidak. Terima kasih.
“Pergilah duluan,” suara Ao membuyarkan lamunan Lova. Ia menoleh ke cowok itu. “Eh?”
“Datangi dia. Jauhkan dia dari pintu. Maksudku, bawa dia pergi dari jarak pandangku. Setiap kali melihatnya, entah kenapa tanganku gatal ingin melakukan hal yang lebih buruk padanya daripada hari pertama aku di sini.” kata Ao sambil tetap berjalan.
Lova terkesiap. “Maksudnya, lo mau menghajar Rico?!”
Wajahnya tetap datar. “Aku tidak bilang ‘ingin menghajarnya’, aku hanya bilang ingin melakukan ‘hal yang lebih buruk’.” Lova menatapnya bingung.
“Wajah memelas dan tidak berdayanya itu benar-benar tontonan yang cukup menarik, kau tahu.” suaranya sangat datar.
Mengerti maksud perkataan Ao, Lova segera menyerahkan berkas yang dibawanya pada Ao, dan bergegas mendatangi Rico. Dari ekspresinya, Lova tahu Rico terkejut saat ia mendatanginya.
“Hai Rico!” Lova tersenyum manis.
Rico tercengang sesaat, lalu menjawab dengan sedikit tergagap, “Eh... h-hai juga Lova...” ia nyengir salah tingkah.
Lova bingung mau ngomong apa. Lalu sebuah ide terlintas di pikirannya. “Ric, lo bisa bantuin gue ngerjain PR fisika ga? Gue ada beberapa soal yang belum nih...” sedikit nada turun, dan ekspresi sedih, dan Rico pun tertipu. Bahkan sepertinya ia melupakan kekesalannya beberapa saat yang lalu.
“Be... beneran nih...?” kata Rico ragu.
Lova mengangguk cepat, “Iya... ayo!” Lova masuk ke kelas dengan sedikit menarik tangan Rico. Oh... itu sungguh momen yang luar biasa membahagiakan bagi Rico. Karena hampir tidak pernah, benar-benar hampir  tidak pernah Lova tersenyum manis dan menyapanya. Biasanya kan dia duluan.... (Author: Haaah~ daku ini memang baik ya... jarang-jarang gue baik ama elo... –ditendang- )
Ao yang melihat kejadian beberapa meter di depannya itu hanya mendengus.
Anak itu unik, kan?”
Suara itu berasal dari atas pohon di dekat jendela. (ruang kelas dengan koridor tertutup, kayak di Jepang. So... you know what I mean, don’t you?)
Ao berhenti berjalan. Ia berada tepat di samping jendela itu. Masih dengan ekspresi datar, ia menjawab pertanyaan si pemilik suara.
“Ya. Unik. Sangat menakjubkan mengetahui bahwa ‘itu’ belum terlepas.”
“Lalu, kenapa tidak dilepas?”
“Aku tidak mau repot-repot melakukannya. Toh ‘itu’ akan terlepas dengan sendirinya, kalau dia sudah menyadari keberadaan ‘itu’.” Ao masih menatap lurus ke depan dengan pandangan menerawang.
Si pemilik suara terkekeh pelan. “Masih acuh seperti biasanya. Yah, sifat seseorang memang tidak bisa berubah dalam sekejap.”
“Berhentilah mengoceh tidak jelas, Ruby.” suara Ao terdengar bosan. “Pesan apa yang kau bawa?”
“Hah, kau memang membosankan ya. Kurasa, ini bukan pesan yang menyenangkan bagimu. Yah, walau bagiku, sangat.” kata Ruby.
Ao menghela napas lelah. “Cepatlah.”
“Ada tanda-tanda ‘mereka’ berada di sini. Belum pasti, tapi ia merasakannya. Walau samar, tapi terasa. Sepertinya ‘mereka’ tidak berhasil menutup Porta Illusia dengan baik.”
Ao membeku. Ternyata perasaan aneh beberapa waktu lalu gara-gara ini. Ini bukan lagi ‘pesan tidak menyenangkan’, tapi ini adalah ‘kabar buruk’. Ao mengambil sesuatu dari saku celananya. Sesuatu berbungkus alumunium, berbentuk kotak, kecil, dan agak pipih. Ia melemparkannya dari jendela ke atas pohon, menuju Ruby.
Srash...
Begitu mendengar suara angin bergesek pelan, Ao berkata dengan nada perintah.
“Sampaikan pesanku padanya: Jangan melakukan tindakan apapun. Jangan sampai melakukan kesalahan sehingga ‘mereka’ mengetahui keberadaan kita. Dan kali ini, turuti kata-kataku.” Ao terdiam sesaat, lalu melanjutkan, “Ruby, aku ingin kau mengawasinya. Jangan sampai dia bertindak gegabah. Dan laporkan padaku bila ia melakukan sesuatu diluar ‘batas’nya.” Ao melirik ke arah pohon, “Sekarang, pergilah.”
Ao bisa melihat Ruby; gagak hitam sebesar elang dan mempunyai mata semerah ruby, membungkukkan badannya, seperti ingin mematuk benda pemberian Ao yang berada di kakinya.
“Yes, My Lord.” dan Ruby melesat terbang ke angkasa.

TbT

0 Toron toron Kuraudo:

Posting Komentar